PEMBAHASAN
A.
Pancasila Sebagai Sistem
Sistem adalah suatu rangkaian
keseluruhan kebulatan unsur-unsur yang mempunyai kedudukan dan peran terhadap
keseluruhan dan rangkaian keseluruhan itu menjadi tempat bersatuya semua unsur,
mengikat semua unsur menjadi satu sehingga rangkaian keseluruhan dan kebulatan
tersebut merupakan satu keutuhan yang organis.
Pancasila dikatakan merupakan satu
sistem karena kelima sila Pancasila adalah satu rangkaian keseluruhan kebulatan
yang utuh. Masing-masing sila Pancasila mempunyai kedudukan dan peran dalam
dalam keseluruhan dan sebaliknya pancasila sebagai keseluruhan adalah tempat
bersatunya kelima sila itu dan mengikat kelima sila tersebut menjadi satu
sehingga keseluruhan kebulatan pancasila itu merupakan kesatuan yang organis.
Karena itu, Pancasila sebagai filsafat merupakan suatu sistem.
Susunan Pancasila dengan suatu
sistem yang bulat dan utuh itu dapat dijabarkan sebagai berikut:
·
Sila
1, meliputi, mendasari dan menjiwai sila 2,3,4,5
·
Sila
2, diliputi, didasari, dijiwai sila 1, dan mendasari dan menjiwai sila 3,4,5
·
Sila
3, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2, dan mendasari dan menjiwai sila 4,5
·
Sila
4, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3
dan mendasari dan menjiwai sila 5
·
Sila
5, diliputi, didasari, dijiwai sila 1,2,3,4
B.
Filsafat Pancasila
Filsafat dari bahasa Yunani
“philein” yang berarti cinta dan “sophia” yang berarti kebijaksanaan, atau
mencintai kebenaran/pengetahuan. Cinta dalam hal ini mempunyai arti yang
seluas-luasnya yang dapat dikemukakan sebagai keinginan yang menggebu dan
sungguh-sungguh terhadap sesuatu, sedangkan kebijaksanaan dapat diartikan
sebagai kebenaran yang sejati. Jadi filsafat secara seerhana dapat diartikan
sebagai keinginan yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran yang sejati.
Menurut Hasbullah Bakry filsafat
ialah “ilmu yang menyelidiki segala
sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga
dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh dapat dicapai akal manusia, dan
bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu”. Filsafat
Pancasila menurut Ruslan Abdulgani, bahwa pancasila merupakan filsafat negara
yang lahir sebagai collectieve ideologie (cita-cita bersama) dari seluruh bangsa Indonesia. Dikatakan sebagai filsafat, karena pancasila merupakan hasil perenungan
jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding father kita,
kemudian dituangkan dalam suatu “sistem” yang tepat.
C.
Hakikat Sila-sila Pancasila
1.
Sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
Yaitu pemahaman mengenai Tuhan secara sedalam-dalamnya menurut akal
budi kemanusiaan kita, sebagai pertanggungjawaban mengapa kita menghormati
Tuhan, memuliakan Tuhan, memandang Tuhan sebagai Yang Teragung, Yang Maha
Sempurna, Yang Maha Esa, dan sebagainya.
Pemahaman yang sedalam-dalamnya mengenai Tuhan menurut akal budi
manusia adalah sebagai berikut:
a.
Causa
Prima, sebab yang pertama dari segala sesuatu
b.
Pengatur
tata tertib alam
c.
Asal
mula segala sesuatu
d.
Yang
selama-lamanya ada, tidak pernah tidak ada, dan tidak bisa tidak ada
e.
Maha
Kuasa dan Maha Sempurna sehingga juga
Maha Esa, Maha Baik, dan oleh karena itu:
f.
Wajib
dihormati dan ditaati.
Jadi, prinsip
sila pertama Pancasila ialah suatu keharusan/tuntutan untuk bersesuaian dengan
hakikat Tuhan, dalam hal ini menghormati, menaati, memuliakan, mengagungkan
Tuhan, dan semacamnya.
2.
Sila
kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab
Menurut pandangan yang utuh, hakikat manusia adalah majemuk tunggal
atau monopluralis. Artinya, terdiri dari unsur-unsur yang banyak jumlahnya,
yang berpasang-pasangan (monodualis), dan menjadi satu. Pasangan pertama ialah
senyawa kodrat monodualis: raga-jiwa, pasangan kedua ialah sifat kodrat
monodualis individu-sosial, pasangan ketiga ialah kedudukan kodrat di hadapan
Tuhan: makhluk Tuhan-pribadi mandiri. Raga memiliki nafsu-nafsu badaniah dan
jiwa memiliki nafsu-nafsu rohaniah.
Prinsip
sila kedua adalah suatu prinsip yang menghendaki/mengharuskan/menuntut untuk
bersesuaian dengan hakikat manusia. Oleh karena itu, harus adil dan beradab.
3.
Sila
ketiga persatuan Indonesia
Ini adalah prinsip/tuntutan untuk bersesuaian dengan hakikat satu.
Hakikat satu ialah:
a.
Utuh,
tak dapat dibagi, mempunyai bangun-bentuk sendiri
b.
Terpisah
dari sesuatu hal yang lain, tidak menjadi bagian dari sesuatu yang lain.
Jadi, hakikat
sila ketiga ialah suatu prinsip untuk tetap utuh, pantang, dan menolak untuk
dipecah-belah, mempunyai kepribadian sendiri sebagai bangsa, sebagai negara
senantiasa merupakan negara kesatuan yang utuh, benar-benar mandiri baik
sebagai bangsa maupun negara, tidak menjadi bagian dari negara lain, tidak
sub-ordinated oleh negara lain, melainkan bekerjasama atas dasar persamaan
derajat dan saling menghormati.
4.
Sila
keempat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan
Kerakyatan adalah prinsip/tuntutan yang menharuskan bersesuaian
dengan hakikat rakyat. Hakikat rakyat artinya jumlah keseluruhan warga dalam
lingkungan daerah atau negara tertentu, dalam hal ini negara Republik
Indonesia. Jadi, bersesuaian dengan hakikat rakyat di sini berarti bersesuaian
dengan pendapat, sikap, aspirasi, dan kepentingan seluruh warga.
Rakyat atau keseluruhan warga atau orang banyak itu ada kalanya
bodoh juga, dalam arti kalau tidak hati-hati dan cukup dewasa dapat atau mudah
dikuasai oleh seorang provokator. Oleh karena itu, prinsip kerakyatan ini
sebaiknya dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Musyawarah dalam arti bertukar pikiran dalam menghadapi pendapat, sikap,
aspirasi, dan kepentingan yang berbeda dan bermacam-macam.
5.
Sila
kelima Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
“Adil” dan “tidak adil” hanya ada apabila ada hubungan hidup
kemanusiaan. Setiap ada hubungan hidup pasti ada “hak” dan “kewajiban”. Adil
ialah apabila hak dalam hubungan hidup itu dipenuhi oleh pihak yang
berkewajiban memenuhi dalam hubungan hidup tersebut.
Ada tiga hubungan yang perlu selalu dijaga/ditegakkan keadilannya,
yaitu:
1)
Hubungan
antara rakyat negara dengan pemerintah negara (keadilan bertaat/keadilan
legal/keadilan hukum)
2)
Hubungan
antara pemerintah negara dengan rakyat negara (keadilan membagi/distributif)
3)
Hubungan
antara sesama warga negara (keadilan timbal balik/keadilan komutatif).
D.
Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Pancasila
1.
Soediman Kartohadiprodjo
Beliau adalah guru besar Universitas Parahyangan Bandung, seorang
ahli hukum khususnya hukum Adat. Menurut
Kartohadiprodjo, intisari filsafat Pancasila adalah “kekeluargaan” yang dapat
dijabarkan dalam pernyataan aksiomatik “kesatuan dalam perbedaan dan perbedaan
dalam kesatuan”.
2.
Drijakara
Ahli pikir sekaligus rohaniwan katolik ini berpendapat bahwa
filsafat pancasila berbasis pada cinta kasih terhadap sesama. Dengan melakukan
analisis eksistensi. Drijakara menyatakan bahwa keberadaan manusia tidak lain
dari “ada bersama” bukan dalam bipolaritas “aku” dan di lain pihak “mengaku”.
Keberadaan manusia secara eksistensial adalah ada bersama dalam “aku—engkau”.
Analoginya seperti pada permainan bulu tangkis di mana akan mustahil bermain
sendirian, melainkan harus berpartner bersama.
3.
Notonagoro
Pancasila secara filosofis berdasar atas sifat dasar manusia
sebagai makhluk monodualis dan monopluralis. Hal ini berarti bahwa manusia
sendiri sebagai basis analisis mewujudkan dirinya dalam wahana pluralisme.
Manusia adalah mkhluk jasmani dan rohani; Manusia adalah mkhluk individu dan
sosial; Manusia adalah mkhluk bebas dan sekaligus bergantung kepada Tuhan.
Notonagoro memunculkan teori causa untuk menelusuri asal-mula
Pancasila, yakni sebuah teori Aristotelian yang mecakup empat causa:
1)
Causa
materialis pancasila ialah hidup kebudayaan dan keagamaan bangsa Indonesia.
2)
Causa
formalis pancasila ialah Soekarno, BPUPKI dan PPKI
3)
Causa
finalis pancasila ialah peruntukkannya sebagai dasar filsafat kenegaraan.
4)
Causa
efisiennya ialah proes musyawarah mufakat dalam serangkaian sidang BPUPKI dan
PPKI 1945.
4.
Soekarno
Di dalam pidatonya di depan BPUPKI 1 Juni 1945 Pancasila yang
diajukan oleh soekarno dimksudkan untuk menjawab pertanyaan ketua BPUPKI dr.
Radjiman tentang “Apakah dasarnya negara yang akan kita bentuk?”. Soekarno
menafsirkan bahwa yang dimaksudkan adalah “Philosophie Gronslaag” atau fundamen
filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat, yang sedalam-dalamnya
untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal abadi.
E.
Postulat Pancasila
Postulat adalah asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap
benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar; aksioma.
1.
Postulat Ontologis
Ontologi adalah bidang filsafat yang menyelidiki
makna yang ada (eksistensi dan keberadaan), sumber ada, jenis ada, dan hakikat ada. Secara
ontologis pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui
hakekat dasar dari sila-sila pancasila.
Ilmu filsafat Pancasila berdiri di atas ontologis: Tuhan itu ada,
manusia itu ada, dan benda itu ada.
Manusia mempunyai hubungan dengan ketiganya itu, yaitu dengan Tuhan, dengan manusia
(orang lain dan juga dengan dirinya sendiri), dan dengan benda (meliputi yang anorganis, vegetatif dan
animal).
2.
Postulat Epistemologis
Epistemologis atau theory of knowledge ialah cabang filsafat
yang mempelajari pengetahuan manusia. Yang dipelajari ialah asal-usul
pengetahuan manusia, susunan pengetahuan pancasila, metode dan validitas pengetahuan.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya adalah suatu sistem
pengetahuan. Pancasila menjadi pedoman atau dasar bagi bangsa Indonesia dalam
memandang realitas alam semesta, manusia, masyarakat, bangsa, dan negara
tentang makna hidup serta sebagai dasar
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam hidup dan kehidupan. Pancasila
dalam pengertian seperti itu telah menjadi suatu sistem cita-cita atau
keyakinan-keyakinan (belief system)sehingga telah menjelma menjadi
ideologi.
3.
Postulat Axiologis
Axiologis
atau theory of value adalah cabang filsafat yang mempelajari sifat
hakiki, kriteria, dan status metafisik nilai. Yang mengenal nilai itu hanyalah
manusia. Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai
kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material dan
nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai
Pancasila yang tergolong nilai
kerohanian itu juga mengandung
nilai-nilai lain secara lengkap dan harmonis seperti nilai material, nilai vital,
nilai kebenaran, nilai keindahan atau
estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai kesucian yang secara
keseluruhan bersifat sistemik-hierarkies, dimana sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa menjadi basis dari semua
nilai-nilai Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarjo Wreksosuhardjo, Filsafat
Pancasila secara Ilmiah dan Aplikatif, Yogyakarta: Penerbit Andi,
2004
Slamet Sutrisno, Filsafat dan Ideologi Pancasila, Yogyakarta:
Penerbit Andi, 2006
Elfa Murdiana, Bahan Ajar Pancasila: Suatu Deskripsi dalam
Sistem Hukum di Indonesia, ttp: tnp,
tt
Reyhan virgirama dan Abdar
Suithon, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta: Garda Media, 2012
0 komentar:
Post a Comment