PEMBAHASAN
A.Pengertian Tasawuf
Al-tasawuf
atau Sufisme adalah salah satu cabang keilmuan dalam Islam, atau secara keilmuan
merupakan hasil peradaban Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah SAW
wafat. Kata sufisme dalam literatur Barat khusus dipakai untuk mistisme Islam (Islamic mysticism)
atau mistik yang tumbuh dalam Islam.
Secara
etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, tashawwafa. Namun para
ulama berbeda pendapat tentang asal usulnya. Ada yang mengatakan dari kata “Shuf”
(Bulu Domba), “Shaff” (Barisan), “Shafy/Shafa” (Jernih) dan dari
kata “Shuffah” (Salah satu sudut yang ada di masjid Nabawi yang
ditempati oleh sahabat nabi yang ikut solat berhijrah dari Makkah ke Madinah).
Secara
terminologispun banyak dijumpai perbedaannya. Syakh Yusuf al-Rifa’i menjelaskan
bahwa definisinya mencapai lebih kurangnya dua ribu dan yang paling sederhana
definisi tasawuf yang dibuat oleh Ibnu Ajibah yaitu, “Kesungguhan Tawajuh
(Ibadah) kepada Allah dengan melaksanakan amalan yang diridhoi dan yang
diingininya”.
Menurut
Al-Junaidi “Tasawuf ialah membersihkan hati dari yang mengganggu perasaan,
berjuang menanggalkan pengaruh insting, memadamkan kelemahan, menjauhi seruan
hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu
hajijat, memakai barang yang penting dan lebih kekal, menaburkan nasihat kepada
semua manusia, memegang teguh janji dengan Allah dalam hal hakikat, serta
mengikuti contoh Rasulullah dalam hal syari’at.
Dr.
Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi At-Taftazani menulis: Tentang asal usul kata sufi
itu sendiri terdapat beberapa pendapat yang berbeda. Di antaranya ada yang
mengangggap bahwa secara lahiriah sebutan tersebut hanya semacam gelar, sebab
dalam behasa Arab, tidak terdapat akar katanya. Menurut Dr. Zaky Mubarok
bahwa kata tasawuf tidak dapat dipastikan dari mana asalnya.
B.
Sejarah Tasawuf
1.
Periode Tasawuf
Untuk melihat masa dan tokoh-tokoh yang mengembangkan tasawuf,
berikut akan dikemukakan secara ringkas sejarah perkembangan tasawuf dimulai
dari abad pertama hijriah.
a.
Abad Pertama dan Kedua Hijriyah
Pada periode ini, tasawuf telah kelihatan dalam bentuknya yang
awal. Ada sejumlah orang yang tidak menaruh perhatian kepada kehidupan materi
seperti makan, pakaian dan tempat tinggal. Mereka lebih berkonsentrasi pada
kehidupan ibadah untuk mendapat kehidupan yang lebih abadi yaitu akhirat. Jadi
pada periode ini, tasawuf masih dalam bentuk kehidupan asketis (zuhud).
Diantara tokoh-tokoh terkemuka pada periode ini adalah: Dari kalangan
sahabat, di antaranya: Salman Al-Farisi, Abu Dzarr Al-Ghifari, Ammar bin Yasir,
Hudzaifah bin Al-Yaman dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in, di antaranya:
Hasab Al-Bashri, Malik bin Dinar, Ibrahim bin Adham, Rabi’ah Al-Adawiyah dan
lain-lain.
b.
Abad Ketiga dan Keempat Hijriyah
Pada abad ketiga dan keempat hijriyah para sufi mulai memperhatikan
sisi-sisi teoritis psikologis dalam rangka perbaikan tingkah laku sehingga
tasawuf telah menjadi sebuah ilmu keagamaan.
Pada periode ini, tasawuf mulai berkembang di mana para sufi telah
menaruh perhatian setidaknya kepada tiga hal yaitu:
a. Jiwa, yaitu tasawuf yang berisi cara
pengobatan jiwa, pengonsentrasian jiwa manusia kepada Tuhan, sehingga
ketegangan-ketegangan kejiwaan dapat terobati.
b. Akhlak, yaitu tasawuf yang berisi teori-teori
akhlak, tentang bagaimana cara untuk berakhlak mulia dan menghindari akhlak
yang buruk.
c. Metafisika, yaitu tasawuf yang berisi
teori-teori ketunggalan hakikat Ilahi atau kemutlakan Tuhan.
Di antara tokoh-tokoh abad ini adalah: Ma’ruf al-Karkhi, Surri al-Saqti,
Abu Sulaiman Ad-Darani dan lain-lain.
Jadi pada periode ini telah terlihat adanya tasawuf dengan
konsentrasi akhlak. Dengan teori-teori yang mudah dipahami, para ulama-ulama
salaf merumuskan bagaimana menghindari akhlak-akhlak yang tercela (mazmumah)
dan bagaimana pula membentuk akhlak-akhlak yang terpuji (mahmudah).
Tasawuf seperti inilah yang disebut dengan tasawuf akhlaqi atau tasawuf salafi
karena diamalkan oleh ulama-ulama salaf (terdahulu).
Pada abad ini sebagian tokoh-tokoh tasawuf seperti Al-Junaid dan
Surri al-Saqti telah memberikan pengajaran kepada murid-murid dalam bentuk
sebuah jemaah. Inilah untuk pertama kali dalam Islam terbentuk tarekat yang
pada waktu itu semacam lembagapendidikan yang mengajarkan cara-cara kehidupan
kesufian kepada orang-orang yang berkeinginan memasuki dunia tasawuf maupun
kepada para murid.
c.
Abad Kelima Hijriyah
Pemikiran-pemikiran atau paham-paham “unik” atau bahkan ganjil yang
dikemukakan oleh Abu Yazid dan Al-Hallaj, tentang “kesatuan” khaliq dengan
makhluq, tasawuf yang diwarnai oleh pemikiran-pemikiran filsafat pengaruh
Yunani yang kemudian disebut dengan
tasawuf falsafi, pertentangan antara tasawuf dengan fiqh, demikian pula
dengan munculnya wali-wali Allah yang dianggap menempati kedudukan imam yang
ghaib dalam pandangan syi’ah, telah menimbulkan perdebatan panjang dan “hiruk
pikuk” tasawuf yang sebagian teori-teorinya telah dianggap menyimpang dari
ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Pada periode ini, lahirlah seorang tokoh sufi besar, Al-Ghazali
(450 H.- 505 H.) dengan tulisan-tulisan monumentalnya seperti Al-Munaiz min
al-Dhalal, Tahafut al-Falasifah dan Ihya ‘Ulum al-Din. Al-Ghazali mengajukan
kritik-kritik tajam terhadap pelbagai aliran filsafat dan kepercayaan
kebatianan dan berupaya keras untuk meluruskan tasawuf dari teori-teori
yang “ganjil” tersebut serta
mengembalikannya kpada ajaran atau bimbingan Al-Qur’an dan Al-Sunnah,
menancapkan dasar-dasar yang kokoh bagi tasawuf. Tasawuf inilah kelak yang di
beri nama tasawuf Sunni yang pada dasarnya menjadikan tasawuf lebih
dekat dengan tasawuf akhlaqi dengan kecenderungan kepada kehidupan zuhud.
d.
Abad Keenam dan Ketujuh Hijriyah
Pada periode ini muncul kembali tokoh-tokoh Suffi yang memadukan
tasawuf dengan filsafat umum teori-teori yang tidak murni tasawuf dan tidak
murni filsafat. Kata sauf ini kemudian dinamai dengan tasawuf falsafi. Diantara
tokoh-tokoh terkemukanya adalah: As-Suhrawardi, Mahyudin Ibn ‘Arabi, ‘Umar ibn
Al-Faridh, Ibn Sab’in, dan lain-lain.
Dalam aliran ini berkembang pantaisme yang mengarahkan tasawuf kepada arah kebersatuan makhluk dengan Allah
SWT. Dengan lahirnya aliran ini tasawuf terbagi dua, yaitu:
a)
Tasawuf
Sunni yaitu tasawuf yang berwawasan moral atau akhlak yang
didasarkan kepada Al-Qur’an dan Al-sunnah yang dikembangkan oleh Al-Ghazali
pada abad kelima hijriyah.
b)
Tasawuf
Falsafi yang menggabungkan tasawuf dengan filsafat dan unsur-unsur
mistik lainnya.
e.
Abad Kedelapan Hijriyah dan Seterusnya
Pada abad ini, tasawuf telah mengalami kemunduran. Ini diantaranya,
karena orang-orang yang berkecimpung dalam bidang tasawuf, kegiatannya sudah
terbatas pada komentar-komentar atau meringkas buku-buku tasawuf terdahulu
serta memfokuskan perhatian pada aspek-aspek prakter ritual yang lebih
berbentuk formalitas sehingga semakin jauh dari subtansi tasawuf.
Pada periode ini hampir tidak terdengar lagi berkembangan pemikiran
baru dalm tasawuf, meskipun banyak tokoh-tokoh Suffi yang mengemukakan
pikiran-pikiran mereka tentang tasawuf. Di antaranya adalah Al-Khisani dan
Abdul Karim Al-Jilli.
Di antara penyebab kemunduran mungkin adalah kebekuan pemikiran
serta spiritualitas yang kering melanda dunia Islam semenjak masa-masa akhir
periode Dinasty Ummayah.
2.
Latar Belakang Sosial Politik
Harus diakui bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, benih-benih
konflik politik sudah mulai kelihatan. Awal mulanya adalah perdebatan tentang
siapa yang paling berhak menggantikan posisi Rasulullah. Sebagai Nabi dan
Rasul, tentu kedudukan beliau tidak bisa digantikan, tetapi sebagai pemimpin
politik posisi beliau harus diisi dan dicarikan penggantinya agar tidak terjadi
kekosongan kepemimpinan. Raslullah pun sebelum wafatnya tidak pernah berpesan
atau berwasiat tentang siapa yang harus menggantikannya memimpin umat Islam.
Di masa Usman bin Affan konflik-konflik politik mulai semakin
mengeras dan meningkat intensitasnya yang berakhir hingga terbunuhnya Usman
pada tahun 656 M. John. L. Esposito bahkan menganggap bahwa pembunuhan Usman
itu merupakan langkah pertama bagi rangkaian pemberontakan kaum muslimin dan
kemelut-kemelut keagamaan. Konflik-konflik politik sejak akhir masa khalifah
Usman ini tentu saja berdampak terhadap kehidupan religius, sosial politik kaum
muslimin. Konflik-konflik tersebut berlangsung terus hingga masa khalifah Ali
bin Abi Thalib.
Sebagian sahabat Nabi yang merasa gawatnya situasi penuh konflik
dan kericuhan politik ini, memilih netral terhadap masing-masing kelompok yang
bermusuhan itu. Mungkin hal ini mereka lakukan untuk mencari selamat, menjauhi
kericuhan itu, dan lebih menyukai kehidupan menyendiri. Karena itu mereka
mengarah pada semacam asketisisme. “Diantara kelompok-kelompok yang mengisolasi
diri adalah seperti Sa’ad ibn Malik, Sa’ad ibn Abi Waqash dan lain-lain”.
Mereka inilah yang disebut-sebut sebagai kelompok yang mengisolasi diri dan
menjadi cikal bakal kelompok yang mengisolasi diri setelah mereka.
Pada masa dinasti Bani Umayyah (kecuali masa Umar bin Abdul Azis)
banyak terjadi kelaliman dan penindasan terhadap lawan-lawan politik mereka.
Perubahan gaya yang dikembangkan olh lapisan atas yang berpusat di kerajaan
Bani Umayyah yang mengutamakan gebyar keduniaan dan kemewahan hidup di dunia
ini, ternyata besar pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat kaum muslimin pada
umumnya. Mereka kemudian mengkiblat pada gaya hidup istana dan ikut mengejar
kemewahan duniawi.
Perubahan-perubahan ini tentu memicu reaksi sebaliknya. Timbul
segolongan orang-orang Islam yang mengembangkan gaya hidup sebaliknya, yaitu
lebih mengutamakan kehidupan akhirat dan rohani, muak dan menghina gaya hidup
bagian besar kaum muslimin yang mulai mengejar dan memperebutkan gebyar
keduniaan. Dalam hal ini mereka menyeru masyarakat padakehidupan yang asketis,
sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam dorongan hawa nafsu.
C. Sumber Tasawuf
Di
kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa
sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi
(Agama Nasrani), unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini
disebabkan karena mereka mengidentikkan ajaran Islam sebagaimana ajaran non
Islam, yaitu ajaran yang dibangun dari hasil pemikiran logika yang dipengaruhi
oleh situasi sosial.
Kelima
unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Unsur Islam
a.
Al-qur’an sebagai sumber pertama tasawuf
1.
Seruan
Al-qur’an untuk bersikap zuhud
a)
Penjelasan
Ayat-Ayat Zuhud
Salah satu ayat yang jelas dalalah-nya
dan kuat argumentasinya dalam mengafirmasi hal ini adalah gambaran Allah
mengenai dunia sebagai sesuatu yang cepat berubah dan sirna. Allah berfirman:
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ÖèO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur (
È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1utIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3t $VJ»sÜãm (
Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4
$tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ
“ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid
(57) :20)
Jika memang dunia berstatus
sebagaimana yang diilustrasikan Allah, tidak kekal abadi dan keindahannya
bersikap semu belaka maka tidak seyogianya hati orang-orang mukmin terpikat dan
menggemarinya hingga taraf rakus yang praktis melalaikan mereka atau
memalingkan mereka dari berbagai macam amal ibadah dan ketaatan yang dapat
mendekatkan diri mereka kepada Allah.
b)
Al-quran
dan Kezuhudan Rasul
Al-qur’an menegaskan seruan zuhud dengan melarang Rasulullah SAW (dan
tentu saja kaum mukmin) untuk melongok (dengan tatapan iri dan nanar) kemewahan
hidup yang dinikmati orang-orang yang bergelimang kemewahan sebab pahala besar
yang dijanjikan Allah SAW bagi orang-orang mukmin yang berzuhud jauh lebih baik
dan kekal. Allah berfirman:
“Dan
janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada
golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai
mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha (20): 131)
c)
Bingkai
Zuhud dalam Alquran
alquran telah menggariskan bingkai zuhud yang tidak boleh dilanggar
oleh siapapun, meskipun sebaik apapun niatnya. Bingkai zuhud ala Alquran
tersebut adalah tidak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah SWT atas nama
zuhud. Allah berfirman:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
w
(#qãBÌhptéB
ÏM»t6ÍhsÛ
!$tB
¨@ymr&
ª!$#
öNä3s9
wur
(#ÿrßtG÷ès?
4
cÎ)
©!$#
w
=Ïtä
tûïÏtF÷èßJø9$#
ÇÑÐÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Ma’idah (5): 87)
d)
Kekuatan
Zuhud yang Diserukan Alquran
perilaku zuhud yang diserukan Alquran dalam bingkai diatas,
sesungguhnya merupakan sumber kekuatan bagi umat Islam secara spiritual maupun
material dan bukan penyebab kelemahan jamaah Islam sema sekali jika dipahami
sesuai dengan arahan-arahan Alquran itu sendiri. Ia juga bukan penghamabat
kemajuan dan kebangkitan umat.
Fakta sejarah membuktikan bahwa kaum muslim generasi awal mampu
menyebarkan Islam hingga sedemikian jaya berkat pemahaman ynag sahih terhadap
zuhud yang memotivasi mereka untuk mengorbankan jiwa, raga dan harta mereka di
jalan Allah SWT demi memilih pahala di sisi Allah SWT dari pada perhiasan dunia
yang fana.
2.
Seruan Alquran untuk Beribadah
a)
Penjelasan
Beberapa Ayat Ibadah
Allah SWT berfirman dalam surat adzariyat ayat 56:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
“Dan
aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.” (QS.
Adz-Dzariyat (51): 56)
b)
Pemahaman
yang Shahih Terhadap Ibadah
para ahli ibadah generasi awal, dimasa permulaaan Islam memahami ibadah
yang dianjurkan Allah SWT dengan pemahaman yang sahih. Pemahaman yang benar
terhadap ibadah ini terwujud dalam diri mereka berkat didikan Rasulullah SAW
yang mengajarkan kepada mereka bahwa jihad di jalan Allah SWT adalah ibadah,
bekerja mencari rejeki untuk menjaga kehormatan diri dan memenuhi kebutuhan
pribadi serta keluarga juga merupakan ibadah yang menjadi media penghapusan
dosa-dosa. Allah berfirman:
4nû$yftFs?
öNßgç/qãZã_
Ç`tã
ÆìÅ_$ÒyJø9$#
tbqããôt
öNåk®5u
$]ùöqyz
$YèyJsÛur
$£JÏBur
öNßg»uZø%yu
tbqà)ÏÿZã
ÇÊÏÈ
“Lambung
mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan
penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami
berikan.” (QS. As-Sajdah (32): 16)
b.
Kehidupan Rasulullah SAW Sebagai Sumber Kedua Tasawuf
1.
Kezuhudan
Rasulullah dan Kesederhanaannya
tidak ada yang menunjukkan fakta ini dari ada deretan khobar
tentang perilaku kehidupan beliau yang dimuat dalma sejumlah hadist shahih.
a.
Kezuhudan
dan Kesederhanaan Beliau dalam Hal Makanan
Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hazim dari
Rasulullah bahwa beliau sangat bersahaja dalam makanan. Ia bercerita: aku
melihat Abu Hurairah r.a memberi isarat dengan jarinya beberapa kali seraya
berkata demi zat yang jiwa Abu Hurairah ada dalam genggaman tangannya, nabi Allah
tidak pernah kenyang selama 3 hari berturut-turut dengan mengkonsumsi roti gandum
sampai beliau meninggal dunia. (HR. Al-bughori).
b.
Kezuhudan
dan Kesederhanaan Beliau dalam Berpakaian
Diriwayatkan
dari Anas bahwa Rasullulah saw. Makan-makanan kasar, memakai pakaian kasar dan
hanya sesekali mengenakan pakaian dari bulu domba. (HR. Al-hakim)
c.
Kezuhudan
dan Kesederhanaan Alas Tidur Rasulullah SAW
Diriwayatkan dari Aisyah r.a ia berkata: sesungguhnya, alas tidur
Rasullullah SAW berupa lembaran kulit berisikan rerumputan kering. (HR. Muslim)
c.
Kehidupan Sahabat dan Khulafa’urrasyidin sebagai Sumber Ketiga Tasawuf
Kehidupan sahabat secara umum dalam pandangan peneliti yang
objektif merupakan sumber vital yang diacu kaum zuhud dan ahli ibadah generasi
awal dalam membangun pilar-pilar kehidupan spiritual mereka. Rasullullah
bersabda mengenai mereka: “Para sahabatku laksana bintang-bintang; siapapun
diantara mereka yang kalian ikuti, kalian telah terbimbing.”
Diantara sahabat-sahabat nabi antara lain:
·
Abu
Bakar Ash-Shidiq
Dengan segala kezuhudannya,
ketakutannya kepada Allah, kebesaran harapnya kepada-Nya, kewara’annya yag luar
biasa dalam menjauhi hal-hal yang lebih syubhat, dan pengakuannya akan
kelemahan akal untuk mengetahui persoalan-persoalan gaib, Abu Bakar dapat
dianggap sebagai salah satu imam panutan kaum sufi sejati.
·
Umar
Bin Khatab
Dari kehidupan Umar terlihat jelas
seberapa jauh hubungan antara ia dengan ujaran-ujaran yang keluar dari mulut
kaum sufi sejati dan perilaku-perilaku pendekatan kepada Allah yang bersumber
dari mereka.
·
Usman
bin Affan
Tidak kalah dengan kedua pendahulunya,
Usman bin Affan juga giat beribadah dengan berbagai cara yang ia mampu. Usman
bin Affan berpandangan bahwa kebaikan seluruhnya tersimpul dalam empat perilaku
mulia, yaitu:
1. Mendekatkan
diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunah (nawafil).
2. Sabar
menghadapi hukum-hukum dan ketentuan Allah SWT.
3. Ridha
menerima takdir Allah SWT.
4.
Malu dari pandangan Allah SWT.
·
Ali
bin Abi Thalib
Di sini tampak adanya hubungan
parallel antara kecenderungan Ali memilih pakaian bertambal dengan kegemaran
sebagian sufi dimasa lalu dengan pakaian serupa.
Kezuhudan dan kesederhanaannya
sebagaimana yang terlihat tidak lain merupakan media yang digunakannya untuk
menyusul Rasullullah di surga. Dikisahkan bahwa ia pernah berpesan kepada Umar
bin Khatab dengan ungkapan-ungkapan yang sarat nilai-nilai kezuhudan; tuturnya,
“Jika kau ingin bersua dengan sahabatmu (Abu Bakar) maka kenakanlah baju
bertambal, pakailah sandal bertambal, pendekkan anganmu, dan makanlah tanpa
kenyang.”
2.
Unsur Luar Islam
Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam
masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama
tersebut telah ada sebelum Islam. Akan tetapi, kita dapat mengatakan bahwa
boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara
otomatis memengaruhi kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau
orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka. Dengan demikian,
adanya unsur luar Islam yang memengaruhi tasawuf Islam itu merupakan masalah
akademik bukan masalah akidah Islamiah. Karenanya boleh diterima dengan sikap
yang sangat kritis dan objektif.
a.
Unsur Masehi
Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal
latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer
berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat
pada zaman jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan
bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya
Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi
sebagai lambang kesederanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai
oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf
itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran
tasawuf berasal dari agama Nasrani.
b.
Unsur Hindu/Budha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat
adanya hubungan sikap fakir, darwisy. Al-birawi mencatat bahwa ada persamaan
antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemudian pula paham
reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara
kelepasan dari dunia versi hindu/budha dengan persatuan diri dengan jalan
mengingat Allah.
Menurut
Qomar Kailani pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau
diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dari Hindu/Budha berarti pada zaman
nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke makkah, padahal
sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
c.
Unsur persia
Sebenarnya antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan sejak lama
yaitu hubungan antara bidang politik pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Akan
tetapi belum ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia
telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke
Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. namun barang kali
ada kesamaan antara istilah zuhud di Arab dengan zuhud menurut agama Manu dan
Masdaq dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan kebaikan) dalam
agama zarathustra.
d.
Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia dimana
perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayah dan puncaknya pada Daulah
Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut memengaruhi pola
berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada
bagian uraian dimulai perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliyah
(akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang
tasawuf itupun telah berubah menjadi
tasawuf filsafat.
Apabila diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah
segala sesuatu diukur menurut akal pikiran. Tetapi dengan munculnya filsafat aliran
Neo Platonis menggambarkan, bahwa hakikat yang tertinggi hanya dapat dicapai
lewat yang diletakkan Allah pada hati setiap hamba setelah seseorang itu
membersihkan dirinya dari pengaruh materi.
D.Manfaat Mempelajari Tasawuf
Harus diakui kebanyakan kita umat Islam seringkali menempuh cara
beragama yang cenderung formal syar’i dan sekedar memenuhi tuntutan kewajiban.
Artinya, kita beribadah dan beramal tidak lebih hanya sekedar gugur kewajiban
sebagai seorang muslim, sehingga beragama kita cenderung kering dan nyaris
kehilangan makna. Tasawuf akan membasahi keringnya nilai ibadah atau cara
beragama kita dengan air kesejukan, ketentraman, kedamaian, dan kedalaman
spiritual sehingga sarat dengan makna dan dapat meluruskan cara kita memandang
kehidupan dunia ini.
Adapun
manfaat tasawuf yang dapat diperoleh, antara lain sebagai berikut:
1. Membersihkan hati dalam berinteraksi dengan
Allah SWT.
Interaksi manusia dengan Allah dalam
bentuk ibadah tidak akan mencapai sasaran jika ia lupa terhadap-Nya dan tidak
disertai dengan kebersihan hati. Sementara itu, esensi tasawuf adalah tazkiyah
an-nafs yang artinya membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran. Dengan tasawuf,
hati seseorang menjadi bersih sehingga dalam berinteraksi kepada Allah akan menemukan
kedamaian hati dan ketenangan jiwa.
2. Membersihkan diri dari pengaruh materi
Melalui tasawuf, kecintaan seseorang
yang begitu besar terhadap materi atau urusan duniawi lainnya akan dibatasi.
Memiliki harta benda itu tidak semata-mata untuk memenuhi nafsu, tetapi lebih
mendekatkan diri kepada Allah.
3. Menerangi jiwa dari kegelapan
Penyakit resah, gelisah, patah hati,
cemas dan serakah dapat disembuhkan dengan ajaran agama, khususnya yang
berkaitan dengan olah jiwa manusia, yaitu tasawuf dimana ketenteraman batin
atau jiwa yang menjadi sasarannya.
Demikian pula sifat-sifat buruk
dalam diri manusia seperti hasad, takabur, bangga diri, dan riya’ tidak dapat
hilang dari diri seseorang tanpa mempelajari cara-cara menghilangkannya dari
petunjuk kitab suci Al-qur’an maupun hadist melalui pendekatan tasawuf.
4. Memperteguh dan menyuburkan keyakinan agama
Keteguhan hati tidak dapat dicapai
tanpa adanya siraman jiwa. Kekuatan umat islam bukan hanya karena kekuatan
fisik dan senjata, melainkan karena kekuatan mental dan spiritualnya.
Keruntuhan umat islam pada masa kejayaannya bukan karena akibat musuh semata,
tetapi kehidupan umat islam pada waktu itu yang dihinggapi oleh meterialisme
dan mengabaikan nilai-nilai mental atau spiritual.
Banyak manusia yang tenggelam dalam
menggapai kebahagiaan duniawi yang serba materi dan tidak lagi mempedulikan
masalah spiritual. Pada akhirnya paham-paham tersebut membawa kehampaan jiwa
dan menggoyahkan sendi-sendi keimanan. Jika amalan tasawuf diamalkan oleh
seorang muslim, ia akan bertambah teguh keimanannya dalam memperjuangkan agama
Islam.
5. Mempertinggi akhlak manusia
Jika hati seseorang suci, bersih
serta selalu disinari oleh ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya maka akhlaknya pun
baik. Hal ini sejalan dengan ajaran tasawuf yang menuntut manusia untuk menjadi
muslim yang memiliki akhlak mulia dan dapat menghilangkan akhlak tercela.
Aspek moral adalah aspek yang
terpenting dalam kehidupan manusia. Apabila manusia tidak memilikinya, turunlah
martabatnya dari manusia menjadi binatang. Dalam akidah, jika seseorang
melanggar keimanan ia akan dihukum kafir. Di dalam fiqh, apabila seseorang
melanggar hokum dianggap fasik atau zindik. Adapun dalam akhlak, apabila
seseorang melanggar ketentuan, maka dinilai telah berlaku tidak bermoral.
Oleh karenanya, mempelajari dan
mengamalkan tasawuf sangat tepat bagi kaum muslim karena dapat mempertinggi
akhlak, baik dalam kaitan interaksi antara manusia dan Tuhan (hablum
minallah), maupun interaksi antara sesama manusia (hablum minannas).
KESIMPULAN
Begitu
banyak definisi tentang tasawuf. Meskipun demikian kita bisa mnarik kesimpulan
bahwa tasawuf adalah upaya atau jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
melalui proses dan cara-cara tertentu agar mendapatkan kebahagian batin
sehingga menghiasi diri dengan akhlakul karimah. Sedangkan orang yang
bertasawuf disebut sebagai sufi.
Polemik
tentang asal-usul dan sumber tasawuf
yang dikumandangkan para orientalis Barat sebaiknya tidak mempengaruhi
akidah namun di anggap sebagai pengetahuan akademik semata. Kita harus yakin
bahwa Tasawuf Islam itu benar-benar murni berasal dari tubuh Islam itu sendiri
yang bersumber dari Alquran dan Hadis Nabi. Kita harus cermat, dan obyektif
memandang suatu pengetahuan sehingga tidak terjadi salah paham yang dapat
menyesatkan.
Mempelajari
tasawuf memiliki banyak manfaat diantaranya di jaman modern saat ini dimana
teknologi serba canggih dan materi yang melimpah ternyata justru membuat
manusia mengalami penurunan spiritualisme dan lebih mementingkan dunia. Tasawuf
dapat menyejukan hati, menentramkan jiwa dan menemukan makna hidup yang
sesungguhnya ditengah pergumulan hidup sehari-hari.
Buah
dari tasawuf adalah akhlak yang mulia dan peningkatan iman sehingga kita dapat
lebih dekat dengan Allah SWT dan dapat menyeimbangkan kehidupan dunia dan
akhirat.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf. Jakarta: Amzah
Dahlan, Tamrin. 2010. Tasawuf Irfani (Tutup Nasut Buka Luhut). Malang:
UIN-Maliki Press
Hadi, Mukhtar. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf (Sebuah Pengantar Ilmu
Tasawuf). Yogyakarta: Aura
Hajjaj, Muhammad Fauqi. 2011. Tassawuf Islam dan Akhlak Cet.
1. Jakarta: Amzah
Jamil. 2013. Akhlak Tasawuf. Ciputat: Referensi
Nata, Abuddin. 2013. Akhlak tasawuf dan karakter mulia.
Depok: PT RajaGrafindo Persada
0 komentar:
Post a Comment