BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Orang-orang Yunani dulu kala mempunyai banyak cerita dan dongeng
takhayul. Mitos tersebut meskipun jauh dari kebenaran rasional, tetapi sudah
merupakan percobaan untuk mengerti tentang rahasia alam ini. Mitos-mitos tersebut sudah memberikan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam hati mereka.
Pada abad ke-6 SM mulai berkembang di Yunani suatu sikap baru,
dimana orang mulai mencari jawaban-jawaban tentang rahasia-rahasia alam
semesta. Rasio mulai menggantikan mitos dan logika menggantikan legenda. Dengan
demikian, lahirlah filsafat Yunani, di mana mereka tidak mencari-cari lagi
keterangan-keterangan tentang alam semesta ini dalam cerita-cerita mitos,
tetapi mereka mulai berpikir sendiri, untuk memperoleh keterangan-keterangan
yang memungkinkan mereka mengerti kejadian-kejadian dalam alam ini.
Dengan demikian, filsafat merupakan suatu pandangan rasional
tentang segala sesuatu. Oleh karena itu, filsafat bagi orang Yunani pada masa
itu bukan merupakan ilmu pengetahuan yang terpisah dari ilmu pengetahuan yang
lainnya, melainkan meliputi segala pengetahuan.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana
kehidupan filsafat pada zaman Yunani kono?
2.
Bagaimana
perkembangan filsafat pada Yunani klasik?
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
ZAMAN
YUNANI (7 SM – 6 M)
Orang Yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempunyai
sistem kepercayaan bahwa segala sesuatunya harus diterima sebagai sesuatu yang
bersumber pada mitos atau dongeng-dongeng. Artinya suatu kebenaran lewat akal
pikir (logis) tidak berlaku, yang berlaku hanya suatu kebenaran yang bersumber
dari mitos (dongeng-dongeng).
Setelah abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang
menentang adanya mitos. Mereka menginginkan adanya pertanyaan tentang misteri
alam semesta ini, jawabannya dapat diterima akal (rasional). Keadaan yang
demikian ini sebagai suatu demitiologi, artinya suatu kebangkitan pemikiran
untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi. Upaya
para ahli pikir untuk mengarahkan kepada suatu kebebasan berfikir, ini kemudian
banyak orang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir
secara murni, maka timbullah peristiwa ajaib The Greek Miracle yang
artinya dapat dijadikan sebagai landasan peradaban dunia.[1]
1.
YUNANI
KUNO
a.
Filsuf-filsuf Pertama dari Miletos
Filsuf-filsuf Yunani yang
pertama tidak lahir di tanah airnya sendiri, melainkan di tanah perantauan di
Asia Minor.[2]
Karena yang merantau itu makmur hidupnya, kemakmuran itu memberikan kelonggaran
bagi mereka untuk mengerjakan hal-hal lain selain dari mencari penghidupan.
Waktu yang terluang dipergunakannya untuk memperkuat keilmuan hidup dengan seni
dan mengembangkan buah pikiran. Itu sebabnya, Miletos di Asia Minor, kota
tempat mereka merantau menjadi tempat lahirnya filsuf-filsuf Yunani yang
pertama. Mereka disebut filsuf alam, sebab tujuan filsafat mereka ialah
memikirkan masalah alam besar, dari mana terjadinya alam.[3]
1.
THALES
Ia hidup pada abad ke-6 Masehi. Aristoteles yang memberikan gelar
kepadanya sebagai filsuf yang pertama.[4]
Menurut Theles asal mula alam ini adalah air. Bagi Theles air adalah sebab yang
pertama dari segala yang ada dan yang jadi. Di awal air dan di ujung air, atau
dengan perkataan filsuf, air adalah subtrat (bingkai) dan substansi (isi).
Bertitik tolak dari pemikiran tersebut, maka tak ada jurang pemisah antara
hidup dengan mati. Semuanya satu.[5]
2.
ANAXIMANDROS
Anaximandros adalah murid Thales. Menurutnya segala sesuatu itu
berasal dari to apeiron, yaitu yang tak terbatas. Apeiron itu
tidak dapat dirupakan, tidak ada persamaannya dengan salah satu barang yang
kelihatan di dunia ini, yang dapat ditentukan rupanya dengan panca indera,
adalah barang yang mempunyai akhir yang berhingga. Oleh sebab itu, apeiron adalah
barang yang asal, yangb tidak berhingga dan tiada berkeputusan itu mustahil
salah satu dari barang yang berakhir itu. Segala yang tampak dan terasa
dibatasi oleh lawannya. Dan bagaimana yang terbatas itu dapat memberikan sifat
kepada yang tidak berkeputusan?[6]
3.
ANAXIMENES
Ia adalah murid Anaximandros. Mengenai alam ini ia mengatakan,
“Semuanya terjadi dari udara.” Karena gerak udaralah yang menjadi sebab
terjadinya. Udara bisa jarang dan bisa rapat. Kalu udara menjadi jarang maka
terjadilah api, kalu udara berkumpul menjadi rapat maka terjadilah angin dan awan,
bertambah padat lagi maka akan turunlah hujan dari awan itu. Dari air terjadi
tanah, dan tanah yang sangat padat menjadi batu.[7]
B.
Filsuf-Filsuf
Elea
1. PERMINDES
Ia lahir pada tahun 540
SM, tetapi kapan meninggalnya tidak jelas. Ia terkenal sebagai seorang yang
besar. Ia ahli politik dan pernah memangku jabatan pemerintah. Tetapi bukan
karena itu ia terkenal namanya, ia terkenal sebagai ahli fikir yang melebihi
siapa saja pada masanya. Fislafatnya adalah, "yang realitas dalam alam ini
hanya satu, tidak bergerak, dan tidak berubah". Dasar pemikirannya: yang
ada itu ada, mustahil tidak ada. Perubahan itu berpindah dari ada menjadi tidak
ada, itu mustahil, sebagaimana mustahilnya yang tidak ada menjadi ada.[8]
Konsekuensi dari pandangan
demikian ialah[9]:
1. Bahwa "yang ada" ialah satu dan tidak
terbagi, karena itu pluralitas tidak mungkin ada.
2. Bahwa "yang ada" itu tidak dijadikan, dan
tidak akan dimusnahkan (dihilangkan). Dengan kata lain, "yang ada"
itu bersifat kekal dan tidak terubahkan.
3. Bahwa, "yang ada" itu sempurna, tidak ada
sesuatu yang dapar ditambahkan padanya, dan tidak ada sesuatu yang dapat
diambil dari padanya.
4. Bahwa, "yang ada" itu mengisi segala
tempat, sehingga tidak ada ruang yang kosong, sebab kalau ada ruang kosong,
maka "yang ada" akan ada dalam pergerakan, dan pergerakan berarti
perubahan.
2. ZENO
Zeno adalah murid
Parmindes, ia berusaha untuk membuktikan kebenaran ajaran gurunya, bahwa gerak
itu tidak ada. Gerak hanyalah tipuan belaka. Pendapatnya itu diperkuat oleh
bukti-bukti diantaranya sebagai berikut:
• Untuk menyebrangi suatu tanah lapang, kita harus terlebih dahulu
menyebrangi separuhnya, baru setelah itu kita bisa menyebrangi separuhnya lagi.
Demikian seterusnya dan tidak ada habis-habisnya.
• Anak panah dilepaskan dari busurnya, ia tentu pada setiap saat
berada pada tempat tertentu, tidak mungkin ia pada suatu saat berada dalam dua
tempat atau lebih. Hal ini membuktikan bahwa anak panah tersebut diam.
Ia adalah seorang
politikus mahir yang mengaku dirinya sebagai dewa. Dia adalah penganut paham
cara pemerintahan yang demokratis, akan tetapi, pada karirnya ia digulingkan
oleh kaum aristocrat.
Filsafatnya mengatakan
bahwa subtansi alam itu terdiri dari 4 elemen: tanah, udara, api dan air.
Campuran yang berbeda-beda dari elemen-elemen tersebut membentuk segala benda
dalam alam ini. Elemen-elemen tersebut bercampur karena cinta, dan berpisah
karena kebencian. Semua wujud dalam alam ini bersifat sementara, hanya
elemen-elemen, cinta dan kebencian yang kekal abadi.[10]
C.
PHYTAGORAS DAN MAZHAB PYTHAGORAS
Phytagoras dilahirkan di Samos
antara tahun 580 smpai 570 SM. Pythagoras tidak banayak pemikiran tentang
substansi yang menjadikan alam, tetapi ia lebih banyak memikirkan tentang
bentuk dan hubungan antara berbagai macam benda, sebagai seorang yang ahli
matematika ia sangat tertarik pada bentuk dan hubungan yang bersifat
kuantitatif. Karena itu ia mencoba mengemukakan pandangan-pandangannya dengan
mengemukakan hakikat dari angka. Ia
berkesimpulan bahwa angkalah sebenarnya yang menjadi prinsip dari semua yang
ada. Number is the principle of all being.
Menurut pythagoras, bilangan yang
merupakan anasir penyususnan segala mavam bentuk dan hubungan. Benda benda itu
merupakan copy atau imitasi dari bilanagan bilangan. Yang merubah materi
(matter) menjadi bentuk (forms) adalah bilanagan. Karena itu
segala bentuk ditentukan oleh angka. Di smaping itu dalam alam ini terdapat
hubungan yang didasarkan atas bilangan blangan (numerical relation).
Misalanya, hubungan antara panjang senar dengan tinggi nada. Semakin angka itu
merupakan simbol dari hubungan hubungan tersebut.
Karena itulah Pythagoras berkesimpulan bahwa dibalik fenomena yang
kita lihat ini terdapat bilangan. Bilanagan ittu merupakan dasar bagi
segalanya, karena itu apabila kita dapat memperoleh angk yang benar, kita akan
memperoleh kebenaran sesuatu.[11]
D.
HERAKLEITOS (540-480 SM)
Dilahirkan di Ephesos dari suatu
keluarga tergolong aristokrat. Herakleitos tertarik pada amasalah perubahan
perubahan yang terjadi dalam alam (problem of changing or becoming).
Herakleitos sangat terpengaruh olheh kenyataan bahwa alam ini mengalami
perubahan terus menerus, sehingga terjadi prularitas dalam alam ini.[12]
Menurut Herakleitos, tidak ada
satupun di alam ini yang bersifat tetap atau permanen. Apa yang kelihatan
tetap, sebenarnya ia dalam proses perubahan yang tidak ada henti-hentinya.
Adapun ucapan ucapan Herakleitos yang sangat terkenal menggambarkan pendangan
filsafatnya itu, “pan tarhei kai uden menei, semuanya mengalir dan tidak
ada satupun yang tinggal menetap”. “Engkau tidak bisa turun dua kali kedalam
sungai yang sama”. Dan “matahari adalah baru setiap hari”.
Herakleitos berkeyakinan, bahwa api
adalah elemen utama dari segala sesuatu yang timbul. Api itu merupakan lambang
perubahan perubahan dalam alam ini, sebab nyala api itu selalu memekan bahan
bakar yang baru, dan bahan bakar itu senantiasa berubah menjadi asap dan abu.
Menurut Herakleitos, dunia ini tidak
dijadikan oleh siapapun juga. Ia ada selama-lamanya. Ia itu adalah sebagai api
yang hidup selalu, yang menyala dan apadam secara barganti-ganti. Perjalanan
ini senantiasa beredar, tidak bermula dan tidak berkesudahan. Dunia selalu
dalam kejadian, sebab tidak ada sesuatu yang kuasa menahannya. Dunia senantiasa
bergerak, sebab ia mengandung hukumnya, logosnya dalam dirinya sendiri,
sebab itu kemajuan berlaku menurut irama yang tetap.[13]
E.
Filsuf-Filsuf
Pluralis
1. ANAXAGORAS (500-428 SM)
Anaxagoras lahir di Lazomonal, lonia. Pada
waktu mudanya ia pindah ke Athena, dan menetap disana selama 30 tahun. Di
Athena dia berkenalan dengan Pricles seorang politikus ulung yang pernah
membawa Athena ke zaman keemasa. Ketika Pericles telah lanjut usia,
musuh-musuhnya berhasil memfitnah Anaxagoras dengan tuduhan murtad dan keluar
dari agama. Karena itu mahkamah akan menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Namun
berkat pertolongan dari sahabatnya, Pericles, ia berhasil diselamatkan dari
hukuman mati. Kesalahan Anaxagoras ialah karena ia mengatakan bahwa matahari
adalah benda yang menyala panas, dan bulan bersinar karena memantulakan sinar
matahari. Bulan serupa dengan bumi, bergunung dan berdaratan rendah.
Ajaran filsafatnya
mengatakan bahwa timbul dan hilang itu ada. Isi alam ini tidak bertambah dan
tidak juga berkurang. Ia selama-lamanya. Timbul dan hilang itu hanyalah
bercampuran dari anasir-anasir asal, yang jumlahnya tidak terhingga.
Percampuran dan perpisahan anasir-anasir asal tersebut digerakkan oleh kodrat
dari luar yang dinamakan Nus. Nus itulah yang membentuk alam ini.[14]
F.
Filsuf-Filsuf
Atomis
Filsafat atomis ini
menurut garis besarnya berasal dari Leukippos, dan dikembangkan oleh
Demokritos. Kedua filsuf atomis tersebut juga berusaha memecahkan masalah yang
diajukan oleh filsudf-filsud Elea. Mereka berpendapat bahwa realitas seluruhnya
itu bukan satu, melainkan tersusun dari banyak unsur dan unsur-unsur tersebut
tidak dapat dibagi-bagi.
Unsur-unsur tersebut
mereka namai atim, yang diambil dari kota atomos, a = tidak dan tomos =
berbagi. Atom merupakan bagian yang terkecil, sehingga tidak terlihat oleh
mata. Bentuknya berbeda-beda dan tidak mempunyai kualitas. Menurut Leukippos
dan Demokritos, jumlah atom itu kecil dan tidak dapat dilihat oleh mata, tetapi
tetap ada, tidak hilang dan tidak berubah. Atom tidak dijadikan karena sudah
ada sejak semula.[15]
2.
YUNANI
KLASIK
Pada
periode Yunani Klasik ini perkembangan filsafat menunjukkan kepesatan, yaitu
ditandainya semakin besar minat orang terhadap filsafat. Aliran yang mengawali
periode Yunani Klasik ini adalah Sofisme. Penamaan aliran sofisme ini berasal
dari kata sophos yang artinya cerdik
pandai. Keberadaan sofisme ini dengan keahliannya dalam bidang-bidang bahasa,
politik, retorka, dan terutama memaparkan tentang kosmos dan kehidupan manusia
di masyarakat sehingga keberadaan sofisme ini dapat membawa perubahan budaya
dan peradaban Athena.[16]
KAUM SOFIS
Istilah sofis yang
berasal dari kata sophistes mempunyai pengertian seorang sarjana atau
cendikiawan. Di kemudian hari sebutan sofis mempunyai pengertian yang kurang
baik karena sofis diartikan sebagai orang-orang yang pekerjaannya menipu dengan
omongan besar, dengan memakai alasan-alasan yang dibuatnya sehingga orang yang
menjadi korbannya yakin dengan apa yang dikatakan si Sofis. Para sofis tersebut
pekerjaannya berkeliling kota untuk memberikan ajarannya dengan imbalan jasa
atau uang.[17]
Terdapat tiga faktor
yang mendorong timbulnya kaum Sofis, yaitu:
a. Perkembangan
yang pesat kota Athena dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini mengakibatkan
kota Athena menjadi ramai.
b. Setelah
kota Athena mengalami keramaian penduduknya yang bertempat tinggal, maka
kebutuhan dalam bidang pendidikan tidak terelakan lagi karena desakan kaum
intelektual.
c. Karena
pemukiman perkotaan bangsa Yunani biasanya terletak di pantai, kontak dan
pergaulan dengan bangsa lain tidak dapat dihindari lagi. Akibatnya, orang-orang
Yunani banyak mengenal berbagai kebudayaan, dan sekaligus terjadi akulturasi
kebudayaan.
Gorgias (480-380 SM)
Salah
satu tokoh Sofisme adalah Gorgias, Ia lahir di Leontinoi, Sicilia. Namanya
menjadi terkenal karena ajarannya dalam bidang retorika atau seni berpidato,
dan memang ia sangat pandai berdebat. Menurut pendapatnya, yang penting adalah
bagaimana dapat meyakinkan orang lain agar menerima pendapat kita. Dengan
demikian, dalam berdebat bukan mencari kebenaran, tetapi bagaimana memenangkan
perdebatan.[18]
Pemikirannya
yang penting adalah :
a.
Mencari
keterangan tentang asal usul yang ada
b.
Bagaimana peran
manusia sebagai makhluk yang mempunyai kehendak berfikir karena dengan kehendak
berfikir itulah manusia mempunyai pengetahuan yang nantinya akan menentukan
sikap hidupnya.
c.
Norma yang
sifatnya umum tidak ada, yang ada norma yang indiviualistis (subjektivisme).
d.
Bahwa kebenaran
tidak dapat diketahui sehingga ia termasuk penganut Skeptisisme.
Aspek
positif dari adanya aliran sofisme ini akan mempengaruhi terhadap kebudayaan
Yunani, yaitu suatu revolusi intelektual, dan mengangkat manusia sebagi objek
pemikiran filsafat. Aspek negatifnya, aliran Sofisme membawa pengaruh yang
tidak baik terhadap kebudayaan Yunani, terutama nilai-nilai tradisional (agama
dan moral) dihancurkan. Kecakapan berpidato dipergunakan untuk memutarbalikkan
kebenaran karena Sofisme meragukan kebenaran dan ilmu pengetahuan digoncangkan.[19]
a.
SOCRATES (469-399)
Mengenai
riwayat Socrates tidak banyak diketahui, tetapi sebagai sumber utama keterangan
tentang dirinya dapat diperoleh dari tulisan Aristophanes, Xenophon, Plato, dan
Aristoteles. Ia sendiri tidak meninggalkan tulisan, sedangkan keterangan
tentang dirinya didapat dari para muridnya. Orang yang paling banyak menulis
tentang Socrates adalah Plato yang berupa dialog-dialog.
Ia
anak seorang pemahat Sophroniscos, dan ibunya bernama Phairnarete, yang pekerjaannya
seorang bidan. Istrinya bernama Xantipe yang dikenal sebagai seorang yang judes
(galak dan keras). Ia berasal dari keluarga yang kaya dengan mendapatkan
pendidikan yang baik, kemudian menjadi prajurit Athena. Ia terkenal sebagai
prajurit yang gagah berani. Karena ia tidak suka terhadap urusan politik, maka
ia lebih senang memusatkan perhatiaannya kepada filsafat, yang akhirnya ia
dalam keadaan miskin.
Seperti
halnya kaum Sofis, Socrates mengarahkan perhatiaannya kepada manusia sebagai
objek pemikiran filsafatnya. Berbeda dengan kaum Sofis, yang setiap mengajarkan
pengetahuaannya selalu memungut bayaran, tetapi Socrates tidak memungut biaya
kepada murid-muridnya. Maka, ia kemudian oleh kaum Sofis sendiri dituduh
memberikan ajaran barunya, merusak moral para pemuda, dan menentang kepercayaan
negara. Kemudian ia ditangkap dan akhirnya dihukum mati dengan minum racun pada
umur 70 tahun yaitu pada tahun 399 SM. Pembelaan socrates atas tuduhan tersebut
telah ditulis oleh plato dalam karangannya: Apologia.[20]
Peran
Socrates dalam mendobrak pengetahuan semu itu meniru pekerjaan ibunya sebagai
seorang bidan dalam upaya menolong kelahiran bayi, akan tetapi ia berperan
sebagai bidan pengetahuan. Taknik dalam upaya menolong kelahiran (bayi)
pengetahuan itu disebut majeutike (kebidanan) yaitu dengan cara
mengamat-amati hal-hal yang konkret dan yang beragam coraknya tetapi pada jenis
yang sama. Kemudian unsur-unsur yang berbeda dihilangkan sehingga tinggalah
unsur yang sama dan bersifat umum, itulah pengetahuan sejati.[21]
b.
PLATO (427-347 SM)
Plato
adalah pengikut socrates yang taat diantara para pengikut-pengikutnya yang
mempunyai pengaruh besar. Ia lahir di Athena, dengan nama asli Aristocles. Ia
belajar filsafat dari socrates, Phytagoras, Heracleitos, dan Elia, akan tetapi
ajarannya yang paling besar pengaruhnya adalah dari nama Ariston dan ibunya
bernama Periktione. Pada usia 40 tahun ia mengunjungi Italia dan Sicilia, untuk
belajar ajaran Pythagoras, kemudian sekembalinya ia mendirikan sekolah:
Akademia.
Sebagai
titik tolak pemikiran filsafatnya, ia mencoba menyelesaikan permasalahan lama:
mana yang benar yang berubah-ubah (Heracleitos) atau yang tetap (Parmenides).
Mana yang benar antara pengetahuan lewat indra yang pengetahuan yang lewat
akal.[22]
Dunia
Ide dan Dunia Pengalaman
Sebagai penyelesaian
persoalan yang dihadapi Plato tersebut diatas, ia menerangkan bahwa manusia itu
sesungguhnya berada dalam dua dunia, yaitu dunia pengalaman yang bersifat tidak
tetap, bermacam-macam dan berubah serta dunia ide yang bersifat tetap, hanya
satu macam, dan tidak berubah. Dunia pengalaman merupakan bayang-bayang dari
dunia ide sedangkan dunia ide merupakan dunia yang sesungguhnya, yaitu
realitas. Dunia inilah yang menjadi “model” dunia pengalaman. Dengan demikian,
dunia yang sesungguhnya atau dunia realitas itu adalah dunia ide.
Jadi,
Plato dengan ajarannya tentang ide berhasil menjembatani pertentangan pendapat
antara Herakleitos dan Perminides. Plato mengemukakan bahwa ajaran dan
pemikiran Herakleitos itu benar, tetpai hanya berlaku pada dunia pengalaman.
Sebaliknya, pendapat Perminides juga benar, tetapi hanya berlaku pada dunia ide
yang hanya dapat dipikirkan oleh akal.
Dibandingkan dengan
gurunya, Socrates, Plato telah maju selangkah dalam pemikirannya. Socrates baru
sampai pada pemikiran tentang sesuatu yang umum dan merupakan hakikat suatu
realitas itu bukan “yang umum”, tetapi yang mempunyai kenyataan yang terpisah
dari sesuatu yang berbeda secara konkret, yaitu ide. Dunia ide inilah yang
hanya dapat dipikirkan dan diketahui oleh akal.[23]
Menurut
Plato, di dalam negara yang ideal terdapat tiga golongan berikut :
a.
Golongan yang
tertinggi, terdiri dari orang-orang yang memerintah (para penjaga, para filsuf)
b.
Golongan
pembantu, terdiri dari pada prajurit, yang bertugas untuk menjaga keamanan
negara dan menjaga ketaatan para warganya.
c.
Golongan rakyat
biasa, terdiri dari petani, pedagang, tukang, yang bertugas untuk memikul
ekonomi negara (polis).
Tugas negarawan adalah
mencipta keselarasan antara semua keahlian dalam negara (polis) sehinga
mewujudkan keseluruhan yang harmonis. Bentuk pemerintahan harus disesuaikan
dengan keadaan yang nyata.[24]
c.
ARISTOTELES (384-322 SM)
Ia
dilahirkan di Stageria, Yunani utara pada tahun 384 SM. Ayahnya seorang dokter
pribadi di raja Macedonia Amyntas. Karena hidupnya di lingkungan istana, ia
mewarisi keahliannya dalam pengetahuan empiris dari ayahnya. Pada usia 17 tahun
ia dikirim ke Athena untuk belajar di Akademia Plato selama kira-kira 20 tahun
hingga Plato meninggal.
Setelah
Plato meninggal dunia, Aristoteles bersama rekannya Xenokrates meninggalkan
Athena karena ia tidak setuju dengan pendapat pengganti Plato di Akademia
tentang filsafat. Tiba di Assos, Aristoteles dan rekannya mengajar di sekolah
Assos. Disini Aristoteles menikah dengan Phythias. Pada tahun 345 SM kota Assos
diserang oleh tentara Parsi, rajanya (rekan Aristoteles) dibunuh, kemudian
Aristoteles dengan kawan-kawannya melarikan diri ke Mytilene di pulau Lesbos
tidak jauh dari Assos.
Tahun
342 SM Aristoteles diundang raja Philippos dari Macedonia untuk mendidik
anaknya Alexander. Dengan bantuan raja Aristoteles mendirikan sekolah Lykeion.[25]
Karya-karya
Aristotekes berjumlah delapan pokok bahasan sebagai berikut:
a.
Logika
b.
Filsafat alam
c.
Psikologi
d.
Biologi
e.
Metafisika, oleh
aristoteles dinamakan sebagai filsafat pertama atau theologia.
f.
Etika
g.
Politik dan
ekonomi
h.
Retorika dan
poetika
3.
ZAMAN
KEEMASAN FILSAFAT YUNANI
Pada waktu athena dipimpin oleh perikles kegiatan
politik dan filsafat dapat berkembang dengan baik. Ada segolongan kaum yang
pantai berpidato (rethorika) dinamakan kaum sofis. Kegiatan mereka adalah
mengajarkan pengetahuan pada kaum muda. Yang menjadi objek penyelidikan bukan
lagi alam tetapi manusia, sebagaimana yang dikatakan oleh phytagoras, manusia
adalah ukuran segala-galanya. Hal ini diterangkan oleh Socrates dengan
mengatakan bahwa yang benar dan yang baik harus dipandang sebagai nilai-nilai
objektif yang dijunjung tinggi oleh semua orang. Akibat ucapannya tersebut
Socrates dihukum mati.
Hasil pemikiran Socrates dapat ditemukan pada muridnya
plato. Dalam filsafatnya plato mengatakan: realitas seluruhnya terbagi atas dua
dunia yang hanya terbuka bagi pancaindra dan dunia yang hanya terbuka bagi
rasio kita. Dunia yang pertama adalah dunia jasmani dan yang kedua dunia ide.
Pendapat tersebut dikritik oleh Aristoteles dengan
mengatakan bahwa yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkret, ‘Ide
manusia’ tidak terdapat dalam kenyataan. Aristoteles adalah filsuf realis, dan
sumbangannya pada perkembangan ilmu pengetahuan besar sekali. Sumbangan yang
sampai sekarang masih digunakan dalam ilmu pengetahuan adalah mengenai
abstraksi, yakni aktivitas rasional di mana seseorang memperoleh pengetahuan.
Menurut Aristoteles ada tiga macam abstraksi, yakni abstraksi fisis, abstraksi
matematis, dan metafisis.
Abstraksi yang ingin menangkap
pengertian dengan membuang unsur-unsur individual untuk mencapai kualitas
adalaha abstraksi fisis. Sedangkan abstraksi di mana subjek menangkap unsur
kuantitatif dengan menyingkirkan unsur kualitatif disebut abstraksi matematis.
Abstraksi di mana seseorang menangkap unsur-unsur yang hakiki dengan
mengesampingkan unsur-unsur lain disebut abstraksi matefisis.
Teori Aristoteles yang cukup terkenal
adalah tentang materi dan bentuk. Keduanya merupakan prinsip-prinsip matefisis,
materi adalah prinsip yang tidak ditentukan, sedangkan bentuk adalah prinsip
yang menentukan. Teori ini terkenal dengan sebutan Hylemorfisme.[26]
BAB
3
PENUTUP
KESIMPULAN
Zaman yunani kuno dianggap sebagai zaman
keemasan filsafat, karena pada masa ini orang memiliki kebebasan untuk
menungkapkan ide-idenya atau pendapat. Zaman ini dimulai dari masa ke 6 M.
Zaman kuno meliputi zaman filsafat
pra-socrates di Yunani. Tokoh-tokohnya dikenal dengan nama filsuf pertama atau
filsif alam. Mereka mencari unsur induk (arche) yang dianggap asal dari segala
sesuatu. Menurut theles arche itu air, Anaximandros berpendapat arche itu ‘yang tidak terbatas’ (to apeiron).
Anaximenes arche itu udara, pythagoras arche itu bilangan, dan Heraklitos arche
itu api, ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu itu terus mengalir (pantarbei).
Parmenedes mengatakan bahwa segala sesuatu itu tetap tidak bergerak.
Zaman Yunani Klasik dimulai dengan
munculnya kaum Sofis yaitu suatu gerakan dalam bidang intelektual yang
disebabkan oleh pengeruh kepesatan minat orang terhadap filsafat. Kemudian
munculah orang-orang yang berperan penting dalam perkembangan Yunani Klasik
yaitu Socrates, Plato dan Aristoteles.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmoro Achmadi, 2012, Filsafat Umum, Jakarta: RajaGrafindo
Persada
Ihsan, Fuad, 2010, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rineka Cipta
Juhaya S Praja, 2003, Aliran-Aliran Filsafat & Etika,
Jakarta: Kencana
Muzairi, 2009, Filsafat Umum, Yogjakarta: Teras
[1] Muzairi,
Filsafat Umum, (Yogjakarta: Teras, 2009),
[2] Juhaya S
Praja, Aliran-Aliran Filsafat & Etika, (Jakarta: Kencana, 2003),
[3] Ibid.,
[4] Ibid.
[5] Ibid.,
[6] Ibid.,
[7] Ibid.,
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,
[10] Ibid.,
[11] Ibid.,
[12] Ibid.,
[13] Ibid.,
[14] Ibid.,
[15] Ibid.,
[16] Asmoro
Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),
[17] Ibid.,
[18] Ibid.,
H.
[19] Ibid., H.
[20] Ibid.,
H.
[21] Ibid.,
H.
[22] Ibid.,
H.
[23] Brouwer,
op., cit., hlm.
[24] Ibid.,
H.
[25] Ibid.,
H.
[26] Ihsan
Fuad, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rineka Cipta, 2010),
0 komentar:
Post a Comment