SYARAT-SYARAT QIYAS
DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................... 1
DAFTAR ISI ............................................................................................... 2
PENDAHULUAN........................................................................................ 3
A.
Latar
Belakang Masalah..................................................................... 3
B.
Rumusan
Masalah.............................................................................. 3
C.
Tujuan
Penulisan................................................................................ 3
PEMBAHASAN........................................................................................... 4
D.
Pengertian........................................................................................... 4
E.
Rukun
Dan Syarat-Syarat Qiyas........................................................ 4
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 11
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Banyak dari
permasalahan umat memang tidak tertera dalam Al-Quran maupun as-Sunnah, itulah
yang membuat para ulama berfikir keras dalam pemecahan permasalannya. Pengambilan
suatu keputusan hukum dalam Islam bukanlah hal yang mudah, semua harus bersandar
pada Al-Quran dan Hadis. Kita ketahui bersama bahwasannya perkembangan
tekhnologi dan peradaban manusia telah membuat permasalahan umat juga semakin
kompleks. Namun kita ingat juga bahwasannya Rosulullah pada saat ia mengutus
seorang sahabat dan membenarkan penyelesaiannya yang tidak ada dalam Al-Quran
dan Sunnah dengan melakukan ijma’ dan qiyas.
Dari paparan
latar belakang diatas, serta mengingat banyak dikalangan Mahasiswa yang masih
belum memahami sumber hukum Islam Qiyas. maka penulis tertarik untuk membuat
makalah tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Namun
disini penulis lebih menekankan kepada syarat-syarat tentang qiyas sehingga
bisa dikatakan sah atau tidaknya qiyas tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
Pengertian Qiyas?
2.
Apakah
Syarat-Syarat Qiyas?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan ini adalah untuk mengetahui pengertian dan syarat-syarat tentang
qiyas.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Qiyas merupakan metode pertama yang dipegang para mujtahid untuk
mengistinbathkan hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat
dan paling jelas. Secara etimologis
kata “qiyas” berarti “qadar” artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan
semisalnya. Hasby ash Sidieqy mengartikan qiyas secara bahasa yakni mengukur
dan memberi batas. Menurut istilah ahli ushul ialah: “menghubungkan hukum
sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya sama
yang menyebaban hukumnya juga sama”. Salah satu contoh dari qiyas adalah minum
khamar diharamkan dengan nash. Diqiyaskan kepadanya meminum perasan lain yang
menjadi khamar dan terdapatnya sifat memabukkan seperti pada khamar, karena
samanya dalam ‘illat keharamannya.
B.
RUKUN DAN SYARAT-SYARAT QIYAS
Rukun qiyas dan syarat-syaratnya merupakan dasar yang sangat
penting dan menyebutkan dalam aplikasinya, karena hasil penalaran dengan
menggunakan qiyas bertumpu pada rukun dan syarat-syaratnya itu. Yang dimaksud
dengan syarat-syarat di sini adalah persyaratan yang mengikat dalam melakukan
qiyas. Jika tidak memperhatikan syarat-syarat ini adalah berkenaan dengan
keberadaan dari setiap rukun qiyas.
1.
Al-Ashlu
Yaitu
sesuatu yang ada hukumnya dalam nash. Disebut Maqis Alaihi (yang
dijadikan ukuran), atau Mahmul Alaihi (yang dijadikan pertanggungan),
atau Musyabbah Bih (yang dibuat keserupaan).
Syarat-syaratnya
seperti yang disebutkan oleh al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) adalah sebagai
berikut:
a.
Al-Ashlu
(pokok) hendaklah merupakan ketentuan yang tidak boleh berubah. Maksudnya,
pokok yang dijadikan sebagai tempat melakukan qiyas sudah jelas dan pasti dari
nash dan tidak termasuk kepada kemungkinan dinasakhkan.
b.
Ketentuan
hukum pada pokok (Al-Ashlu) merupakan ketetapan syariat, karena apa yang
ditetapkan dengan jalan rasio atau berdasarkan istilah kebahasan tidak
digolongkan kepada hukum syara. Maksudnya, hukum pada pokok merupakan ketentuan
yang sudah ditetapkan langsung oleh nash, bukan ketentuan hukum yang dihasilkan
melalui ijtihad.
c.
Pokok
(Al-Ashlu) hendaklah mempunyai ‘illat yang menjelaskan hukum syara’. Artinya, ‘illat
hukum pada pokok dapat dipahami dengan jelas behwa ketentuan hukum pada pokok
memang didasarkan pada ‘illat dimaksud.
d.
Pokok
(Al-Ashlu) tidak atau bukan menjadi cabang dari pokok yang lain. Maksudnya,
tidak boleh terjadi bahwa pokok juga menjadi cabang bagi pokok lainnya.
e.
Hendaklah
ada dalil yang memastikan ‘illat pada pokok tidak mencakup ‘illat
pada cabang secara langsung. Maksudnya, ‘illat pada pokok dapat dibuktikan
secara jelas.
f.
Hukum
pokok tidak boleh berubah dengan penentuan ‘illat. Maksudnya, pokok
setelah dilakukan qiyas tidak berubah.
g.
Pokok
(Al-Ashlu) tidak boleh keluar dari ketentuan qiyas. Maksudnya, pokok bukanlah
dalil yang berlaku khusus bagi suatu persoalan. Dalil-dalil yang berlaku khusus
tidak boleh dijadikan pokok sebagai tempat qiyas, sebab membatalkan
kekhususannya. Misalnya, nash-nash yang berkaitan dengan kekuasaan bagi Nabi,
seperti mempunyai istri sembilan orang, menikahi wanita dengan hibah (tanpa
mahar).
2.
Al-Far’u atau Cabang
Yaitu
sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash, tetapi ada maksud menyamakannya
kepada Al-Ashlu dalam hukumnya. Disebut al-Maqis (yang diukur) atau al-Mahmul
(yang dibawa) atau Mushabbah (yang diserupakan).
Syarat-syaratnya:
a. Cabang hendaklah mempunyai ‘illat yang sama dengan pokok.
Jika cabang tidak mempunyai ‘illat yang sama dengan pokok, maka qiyas tidak
dapat dilakukan. Karena prinsip dasarnya, qiyas adalah memberlakukan hukum pada
pokok kepada cabang dan ini bisa terjadi bila adanya kesamaan ‘illat
antara keduanya.
b. Tidak ada nash yang menyebutkan hukum tentang cabang. Dengan kata
lain, cabang adalah persoalan baru yang akan dicari ketentuan hukumnya melalui
qiyas.
c. Cabang tidak boleh berlawanan dengan nash atau ijma’. Cabang adalah
sesuatu yang akan dicari hukumnya dengan ijma’ maka tidak sah.
d. Tidak terdapat sesuatu yang mungkin bisa menghalangi untuk
mengamalkan cabang dengan pokok.
e. Cabang tidak boleh mendahului pokok dalam penetapannya. Misalnya, mengqiyaskan
wudlu kepada tayamum dalam hal niat, pada tayamun itu adalah yang terakhir.
3.
Hukum Ashal atau Hukum Pokok
Yaitu
hukum syara yang ada nashnya menurut asal dan dimaksud dengan ini sebagai
pangkal hukum bagi cabang. Adapun syarat-syarat bagi hukum pokok ini, seperti
dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan adalah sebagai berikut:
a.
Terdiri
dari hukum syara amali yang tetap lantaran nash. Adapun hukum syara amali yang
tetap lantaran Ijma, maka dalam hal menjangkaukannya (kepada cabang) lantaran
qiyas ada dua pendapat.
-
Golongan
pertama mengatakan bahwa hukum pokok yang didasarkan pada ijma’ tidak dapat
(tidak sah) digunakan untuk sandaran qiyas. Dengan kata lain ketentuan hukum
yang dihasilkan melalui ijma’ tidak mungkin diberlakukan pada cabang karena
qiyas itu dapat dilakukan dengan mengetahui ‘illat hukum dan ‘illat tersebut
juga terdapat pada cabang sama dengan pokok. Hal ini tidak bisa ditetapkan
dengan ijma’.
-
Golongan
kedua mengatakan bahwa pemberlakuan hukum kepada cabang dengan qiyas, meskipun
ia merupakan hasil ketetapan ijma’ adalah sah. Karena sesungguhnya mengetahui ‘illat
dalam hubungan ini adalah salah satu cara untuk menemukan persesuaian antara
pokok dan hukumnya.
b.
Hukum
pokok hendaklah berdasarkan ‘illat yang bisa diketahui oleh akal.
Artinya, akal mampu mendeteksi keberadaan ‘illat tersebut, sehingga
memungkinkan memberlakukan hukum pokok pada cabang.
Sebagai
contoh, yang berkaitan dengan pengharaman “khamar”. Tentang pengharaman khamar
ini, akal mampu mengetahui ‘illatnya, yaitu iskar (memabukkan). Dan
karena ‘illatnya dapat diketahui maka qiyas dapat dilakukan atasnya.
c.
Hukum
pokok hendaklah hukum yang mempunyai ‘illat yang dapat diberlakukan dan
menjangkau ke cabang. Jika ‘illat hukum berlaku hanya pada pokok saja, maka
qiyas tidak dapat dilakukan, karena qiyas itu adalah terdapatnya pertautan
(persamaan) ‘illat antara pokok dan cabang. Dengan kata lain, jika ‘illat
hukum itu tidak menunjukkan keberadaannya di luar pokok tidak mungkin dilakukan
qiyas. Contohnya, seperti kebolehan mengqasar shalat dan berbuka puasa karena
melakukan safar (menjadi musafir). ‘illat hukum dari kdua kasus ini
adalah safar (bepergian) itu sendiri. Bolehnya melakukan qasar shalat dan buka
puasa tujuannya untuk menghilangkan kesulitan atau kesusahan. Akan tetapi ‘illat
safar ini tidaklah dapat diberlakukan kepada persoalan lain kecuali bagi
musafir serta tidak mungkin mengqiyaskan kepadanya pekerja berat yang ingin
mengqasar seperti halnya musafir.
d.
Hukum
pokok bukan ketentuan hukum yang berlaku khusus. Karena ketentuan-ketentuan
yang berlaku secara khusus tidak dapat diterapkan atau diperlakukan ke cabang.
Misalnya kekhususan bagi Rasulullah saw., bahwa beliau boleh beristri lebih
dari empat orang, dan haram menikahi istri beliau setelah sepeninggalnya.
4.
Al-illat/ ‘illat Hukum
Yaitu
keadaan yang dijadikan dasar oleh hukum Asal berdasarkan wujudnya keadaan itu
pada cabang, maka disamakanlah cabang itu kepada asal, mengenai hukumnya.
Adapun syarat yang paling penting seperti dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf
adalah sebagai berikut:
a.
‘illat hukum, hendaklah merupakan suatu sifat yang jelas. Yang dimaksud
dengan “sifat yang jelas”, di sini adalah bahwa ‘illat itu dapat
dipahami dan ditangkap oleh indra kita, baik pada pokok maupun pada cabang.
Misalnya sifat “memabukkan” yang dapat dilihat pada khamar (sebagai asal
qiyas), juga harus dapat dilihat perasan buah-buahan yang memabukkan (sebagai
cabang qiyas).
b.
‘illat hukum, hendaklah merupakan sifat yang akurat dan pasti. Maksudnya
ialah ‘illat itu merupakan sifat yang bisa dipastikan karakternya dan
ukurannya serta tidak terdapat hal-hal yang menyalahi atau yang menolaknya.
Misalnya pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh seorang waris terhadap
pewaris adalah mempunyai hakikat yang pasti dan karenanya dapat diterapkan
kepada pembunuhan yang dilakukan oleh yang akan menerima wasiat terhadap yang
memberi wasiat.
c.
‘illat hukum itu hendaklah merupakan sifat yang tidak hanya terdapat pada
pokok, tetapi ia juga terdapat pada cabang. Maksudnya, karena ‘illat itu
merupakan dasar qiyas, ia tidak boleh hanya terbatas pada pokok saja, karena
qiyas itu adalah menyamakan antara cabang dengan pokok atas dasar ‘illat
hukum. Dengan kata lain, jika ‘illat hanya terbatas pada pokok saja dan
tidak terdapat pada cabang, maka qiyas tidak dapat dilakukan. Misalnya tidak
boleh menetapkan ‘illat haramnya minuman khamar karena ia berasal dari perasan
anggur yang sudah menjadi khamar (mempunyai sifat yang memabukkan). Sebab kalau
itu yang dijadikan ‘illat, maka hal itu tidak terdapat pada minuman yang
memabukkan yang bukan berasal dari perasan anggur. Dengan demikian, maka
jadilah minuman-minuman yang lain yang memabukkan itu tidak haram meminumnya,
karena tak dapat diqiyaskan kepada khamar (asal qiyas).
d.
‘illat hukum itu hendaklah merupakan sifat yang pantas, sesuai dan cocok
bagi penetapan hukum syara’. Maksudnya bahwa keterpautan hukum dengan ‘illat
itu adalah untuk merealisir hikmah hukum atau kemaslahatan yang menjadi tujuan
disyariatkannya hukum. Dengan kata lain, yang akan dijadikan sebagai dasar
penetapan hukum itu adalah merupakan sifat yang pantas dan serasi untuk
merealisirkan kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum. Misalnya, ‘illat
haramnya minum khamar ialah karena ia memabukkan dan sifat memabukkan ini
adalah sesuai dengan hikmah diharamkannya minum khamar, yaitu untuk memelihara
akal.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Sulaiman. 2004. Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan
Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika
SA, Romli. 1999. Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta: Gaya
Media Pratama
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Kaidah-kaidah Hukum Islam: (Ilmu
Ushul Fiqh), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Teungku Muhammad Hasbi Ash Sidieqy. 2001. Pengantar Hukum Islam.
Semarang: Pustaka Rizki Putera
0 komentar:
Post a Comment