Tuesday, 14 April 2015

makalah : SYARAT-SYARAT QIYAS

SYARAT-SYARAT QIYAS


DAFTAR ISI
JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................... 1
DAFTAR ISI ............................................................................................... 2
PENDAHULUAN........................................................................................ 3
A.    Latar Belakang Masalah..................................................................... 3         
B.     Rumusan Masalah.............................................................................. 3         
C.     Tujuan Penulisan................................................................................ 3         
PEMBAHASAN........................................................................................... 4         
D.    Pengertian........................................................................................... 4         
E.     Rukun Dan Syarat-Syarat Qiyas........................................................ 4         
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 11       


PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Banyak dari permasalahan umat memang tidak tertera dalam Al-Quran maupun as-Sunnah, itulah yang membuat para ulama berfikir keras dalam pemecahan permasalannya. Pengambilan suatu keputusan hukum dalam Islam bukanlah hal yang mudah, semua harus bersandar pada Al-Quran dan Hadis. Kita ketahui bersama bahwasannya perkembangan tekhnologi dan peradaban manusia telah membuat permasalahan umat juga semakin kompleks. Namun kita ingat juga bahwasannya Rosulullah pada saat ia mengutus seorang sahabat dan membenarkan penyelesaiannya yang tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah dengan melakukan ijma’ dan qiyas.
Dari paparan latar belakang diatas, serta mengingat banyak dikalangan Mahasiswa yang masih belum memahami sumber hukum Islam Qiyas. maka penulis tertarik untuk membuat makalah tentang Qiyas sekaligus memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih. Namun disini penulis lebih menekankan kepada syarat-syarat tentang qiyas sehingga bisa dikatakan sah atau tidaknya qiyas tersebut.
B.       Rumusan Masalah
1.    Apakah Pengertian Qiyas?
2.    Apakah Syarat-Syarat Qiyas?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pengertian dan syarat-syarat tentang qiyas.



PEMBAHASAN
     
A.  PENGERTIAN
Qiyas merupakan metode pertama yang dipegang para mujtahid untuk mengistinbathkan hukum yang tidak diterangkan nash, sebagai metode yang terkuat dan paling jelas. Secara etimologis kata “qiyas” berarti “qadar” artinya mengukur, membandingkan sesuatu dengan semisalnya. Hasby ash Sidieqy mengartikan qiyas secara bahasa yakni mengukur dan memberi batas. Menurut istilah ahli ushul ialah: “menghubungkan hukum sesuatu pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya sama yang menyebaban hukumnya juga sama”. Salah satu contoh dari qiyas adalah minum khamar diharamkan dengan nash. Diqiyaskan kepadanya meminum perasan lain yang menjadi khamar dan terdapatnya sifat memabukkan seperti pada khamar, karena samanya dalam ‘illat keharamannya.

B.  RUKUN DAN SYARAT-SYARAT QIYAS
Rukun qiyas dan syarat-syaratnya merupakan dasar yang sangat penting dan menyebutkan dalam aplikasinya, karena hasil penalaran dengan menggunakan qiyas bertumpu pada rukun dan syarat-syaratnya itu. Yang dimaksud dengan syarat-syarat di sini adalah persyaratan yang mengikat dalam melakukan qiyas. Jika tidak memperhatikan syarat-syarat ini adalah berkenaan dengan keberadaan dari setiap rukun qiyas.
1.      Al-Ashlu
Yaitu sesuatu yang ada hukumnya dalam nash. Disebut Maqis Alaihi (yang dijadikan ukuran), atau Mahmul Alaihi (yang dijadikan pertanggungan), atau Musyabbah Bih (yang dibuat keserupaan).

Syarat-syaratnya seperti yang disebutkan oleh al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) adalah sebagai berikut:
a.       Al-Ashlu (pokok) hendaklah merupakan ketentuan yang tidak boleh berubah. Maksudnya, pokok yang dijadikan sebagai tempat melakukan qiyas sudah jelas dan pasti dari nash dan tidak termasuk kepada kemungkinan dinasakhkan.
b.      Ketentuan hukum pada pokok (Al-Ashlu) merupakan ketetapan syariat, karena apa yang ditetapkan dengan jalan rasio atau berdasarkan istilah kebahasan tidak digolongkan kepada hukum syara. Maksudnya, hukum pada pokok merupakan ketentuan yang sudah ditetapkan langsung oleh nash, bukan ketentuan hukum yang dihasilkan melalui ijtihad.
c.       Pokok (Al-Ashlu) hendaklah mempunyai ‘illat yang menjelaskan hukum syara’. Artinya, ‘illat hukum pada pokok dapat dipahami dengan jelas behwa ketentuan hukum pada pokok memang didasarkan pada ‘illat dimaksud.
d.      Pokok (Al-Ashlu) tidak atau bukan menjadi cabang dari pokok yang lain. Maksudnya, tidak boleh terjadi bahwa pokok juga menjadi cabang bagi pokok lainnya.
e.       Hendaklah ada dalil yang memastikan ‘illat pada pokok tidak mencakup ‘illat pada cabang secara langsung. Maksudnya, ‘illat pada pokok dapat dibuktikan secara jelas.
f.       Hukum pokok tidak boleh berubah dengan penentuan ‘illat. Maksudnya, pokok setelah dilakukan qiyas tidak berubah.
g.      Pokok (Al-Ashlu) tidak boleh keluar dari ketentuan qiyas. Maksudnya, pokok bukanlah dalil yang berlaku khusus bagi suatu persoalan. Dalil-dalil yang berlaku khusus tidak boleh dijadikan pokok sebagai tempat qiyas, sebab membatalkan kekhususannya. Misalnya, nash-nash yang berkaitan dengan kekuasaan bagi Nabi, seperti mempunyai istri sembilan orang, menikahi wanita dengan hibah (tanpa mahar).

2.      Al-Far’u atau Cabang
Yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash, tetapi ada maksud menyamakannya kepada Al-Ashlu dalam hukumnya. Disebut al-Maqis (yang diukur) atau al-Mahmul (yang dibawa) atau Mushabbah (yang diserupakan).

Syarat-syaratnya:
a.       Cabang hendaklah mempunyai ‘illat yang sama dengan pokok. Jika cabang tidak mempunyai ‘illat yang sama dengan pokok, maka qiyas tidak dapat dilakukan. Karena prinsip dasarnya, qiyas adalah memberlakukan hukum pada pokok kepada cabang dan ini bisa terjadi bila adanya kesamaan ‘illat antara keduanya.
b.      Tidak ada nash yang menyebutkan hukum tentang cabang. Dengan kata lain, cabang adalah persoalan baru yang akan dicari ketentuan hukumnya melalui qiyas.
c.       Cabang tidak boleh berlawanan dengan nash atau ijma’. Cabang adalah sesuatu yang akan dicari hukumnya dengan ijma’ maka tidak sah.
d.      Tidak terdapat sesuatu yang mungkin bisa menghalangi untuk mengamalkan cabang dengan pokok.
e.       Cabang tidak boleh mendahului pokok dalam penetapannya. Misalnya, mengqiyaskan wudlu kepada tayamum dalam hal niat, pada tayamun itu adalah yang terakhir.
3.      Hukum Ashal atau Hukum Pokok
Yaitu hukum syara yang ada nashnya menurut asal dan dimaksud dengan ini sebagai pangkal hukum bagi cabang. Adapun syarat-syarat bagi hukum pokok ini, seperti dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan adalah sebagai berikut:

a.       Terdiri dari hukum syara amali yang tetap lantaran nash. Adapun hukum syara amali yang tetap lantaran Ijma, maka dalam hal menjangkaukannya (kepada cabang) lantaran qiyas ada dua pendapat.
-          Golongan pertama mengatakan bahwa hukum pokok yang didasarkan pada ijma’ tidak dapat (tidak sah) digunakan untuk sandaran qiyas. Dengan kata lain ketentuan hukum yang dihasilkan melalui ijma’ tidak mungkin diberlakukan pada cabang karena qiyas itu dapat dilakukan dengan mengetahui ‘illat hukum dan ‘illat tersebut juga terdapat pada cabang sama dengan pokok. Hal ini tidak bisa ditetapkan dengan ijma’.
-          Golongan kedua mengatakan bahwa pemberlakuan hukum kepada cabang dengan qiyas, meskipun ia merupakan hasil ketetapan ijma’ adalah sah. Karena sesungguhnya mengetahui ‘illat dalam hubungan ini adalah salah satu cara untuk menemukan persesuaian antara pokok dan hukumnya.

b.      Hukum pokok hendaklah berdasarkan ‘illat yang bisa diketahui oleh akal. Artinya, akal mampu mendeteksi keberadaan ‘illat tersebut, sehingga memungkinkan memberlakukan hukum pokok pada cabang.
Sebagai contoh, yang berkaitan dengan pengharaman “khamar”. Tentang pengharaman khamar ini, akal mampu mengetahui ‘illatnya, yaitu iskar (memabukkan). Dan karena ‘illatnya dapat diketahui maka qiyas dapat dilakukan atasnya.
c.       Hukum pokok hendaklah hukum yang mempunyai ‘illat yang dapat diberlakukan dan menjangkau ke cabang. Jika ‘illat hukum berlaku hanya pada pokok saja, maka qiyas tidak dapat dilakukan, karena qiyas itu adalah terdapatnya pertautan (persamaan) ‘illat antara pokok dan cabang. Dengan kata lain, jika ‘illat hukum itu tidak menunjukkan keberadaannya di luar pokok tidak mungkin dilakukan qiyas. Contohnya, seperti kebolehan mengqasar shalat dan berbuka puasa karena melakukan safar (menjadi musafir). ‘illat hukum dari kdua kasus ini adalah safar (bepergian) itu sendiri. Bolehnya melakukan qasar shalat dan buka puasa tujuannya untuk menghilangkan kesulitan atau kesusahan. Akan tetapi ‘illat safar ini tidaklah dapat diberlakukan kepada persoalan lain kecuali bagi musafir serta tidak mungkin mengqiyaskan kepadanya pekerja berat yang ingin mengqasar seperti halnya musafir.

d.      Hukum pokok bukan ketentuan hukum yang berlaku khusus. Karena ketentuan-ketentuan yang berlaku secara khusus tidak dapat diterapkan atau diperlakukan ke cabang. Misalnya kekhususan bagi Rasulullah saw., bahwa beliau boleh beristri lebih dari empat orang, dan haram menikahi istri beliau setelah sepeninggalnya.

4.      Al-illat/ ‘illat Hukum
Yaitu keadaan yang dijadikan dasar oleh hukum Asal berdasarkan wujudnya keadaan itu pada cabang, maka disamakanlah cabang itu kepada asal, mengenai hukumnya. Adapun syarat yang paling penting seperti dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut:

a.       ‘illat hukum, hendaklah merupakan suatu sifat yang jelas. Yang dimaksud dengan “sifat yang jelas”, di sini adalah bahwa ‘illat itu dapat dipahami dan ditangkap oleh indra kita, baik pada pokok maupun pada cabang. Misalnya sifat “memabukkan” yang dapat dilihat pada khamar (sebagai asal qiyas), juga harus dapat dilihat perasan buah-buahan yang memabukkan (sebagai cabang qiyas).

b.      ‘illat hukum, hendaklah merupakan sifat yang akurat dan pasti. Maksudnya ialah ‘illat itu merupakan sifat yang bisa dipastikan karakternya dan ukurannya serta tidak terdapat hal-hal yang menyalahi atau yang menolaknya. Misalnya pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh seorang waris terhadap pewaris adalah mempunyai hakikat yang pasti dan karenanya dapat diterapkan kepada pembunuhan yang dilakukan oleh yang akan menerima wasiat terhadap yang memberi wasiat.

c.       ‘illat hukum itu hendaklah merupakan sifat yang tidak hanya terdapat pada pokok, tetapi ia juga terdapat pada cabang. Maksudnya, karena ‘illat itu merupakan dasar qiyas, ia tidak boleh hanya terbatas pada pokok saja, karena qiyas itu adalah menyamakan antara cabang dengan pokok atas dasar ‘illat hukum. Dengan kata lain, jika ‘illat hanya terbatas pada pokok saja dan tidak terdapat pada cabang, maka qiyas tidak dapat dilakukan. Misalnya tidak boleh menetapkan ‘illat haramnya minuman khamar karena ia berasal dari perasan anggur yang sudah menjadi khamar (mempunyai sifat yang memabukkan). Sebab kalau itu yang dijadikan ‘illat, maka hal itu tidak terdapat pada minuman yang memabukkan yang bukan berasal dari perasan anggur. Dengan demikian, maka jadilah minuman-minuman yang lain yang memabukkan itu tidak haram meminumnya, karena tak dapat diqiyaskan kepada khamar (asal qiyas).

d.      ‘illat hukum itu hendaklah merupakan sifat yang pantas, sesuai dan cocok bagi penetapan hukum syara’. Maksudnya bahwa keterpautan hukum dengan ‘illat itu adalah untuk merealisir hikmah hukum atau kemaslahatan yang menjadi tujuan disyariatkannya hukum. Dengan kata lain, yang akan dijadikan sebagai dasar penetapan hukum itu adalah merupakan sifat yang pantas dan serasi untuk merealisirkan kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum. Misalnya, ‘illat haramnya minum khamar ialah karena ia memabukkan dan sifat memabukkan ini adalah sesuai dengan hikmah diharamkannya minum khamar, yaitu untuk memelihara akal.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah,Sulaiman. 2004. Sumber Hukum Islam: Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta: Sinar Grafika
SA, Romli. 1999. Muqaranah Mazahib Fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Kaidah-kaidah Hukum Islam: (Ilmu Ushul Fiqh), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Teungku Muhammad Hasbi Ash Sidieqy. 2001. Pengantar Hukum Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putera



0 komentar:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com