PEMBAHASAN
A. FONEM
1. Pengertian Fonem
Fonem adalah satuan bunyi bahasa yang
dapat membedakan arti. Bunyi /a/ dan /i/ dalam bahasa Indonesia adalah fonem,
karena keduanya membedakan arti. Misalnya dalam pasangan dara dan dari.[1]
Fonem ialah unit bunyi yang terkecil
yang membedakan makna. Perbedaan makna ini dapat dilihat pada pasangan minimal
atau pasangan terkecil perkataan. Misalnya pedang dengan petang.
Dalam pasangan minimal perkataan pedang dengan petang itu
terdapat bunyi yang berbeda (distingtif), yaitu bunyi d dan bunyi t. Oleh sebab
perkataan pedang hampir sama, kecuali bunyi d dan bunyi t,
maka dikatakan bahwa bunyi d dan bunyi t adalah bunyi yang distingtif yang membedakan makna. Oleh
karena itu, bunyi d dan bunyi t adalah bertaraf fonem yang berbeda
dan bunyi fonem ini diletakkan dalam kurungan fonem, yaitu / d / dan / t /.[2]
Pasangan minimal ialah pasangan terkecil
perkataan, yaitu pasangan perkataan yang hampir sama dari segi sebutan dan juga
cara menghasilkan bunyi perkataan tersebut tetapi masih terdapat perbedaan
kecil pada bunyi (fonem) tertentu yang membedakan makna antara perkataan
tersebut.[3]
Fonem-fonem diucapkan secara berangkai
dan berkelompok di dalam pemakaian bahasa. Artinya, setiap fonem diucapkan
secara terpisah-pisah. Kelompok fonem yang merupakan unsur sebuah kata dasar
atau morferm bahasa Indonesia disebut “suku”. Dengan kata lain, struktur suku
ditentukan oleh hubungan sintagmatis di antara fonem-fonemnya. [4]
Perhatikan tabel berikut :
Kata dasar
|
ia
|
tiba
|
pindah
|
prisma
|
suku
|
i a
|
Ti ba
|
Pin dah
|
Pris ma
|
fonem
|
/i/a/
|
/t/i/b/a/
|
/p/i/n/d/a/h/
|
/p/r/i/s/m/a/
|
Fonologi berbeda dari fonetik karena
fonetik mempelajari bunyi-bunyi tanpa membatasi perhatiannya pada bahasa
tertentu umpamanya bahasa Indonesia atau Inggris. Fonologi bertugas mempelajari
fungsi bunyi untuk membedakan atau
mengidentifikasi kata-kata tertentu.[5]
2.
Fonem Suprasegmental
Fonem suprasegmental yang
juga disebut fonem suprapenggalan ialah ciri atau sifat bunyi yang menindihi
atau menumpangi suatu fonem. Maksudnya, ciri suprasegmental hadir bersama-sama
fonem penggalan dengan cara menumpangi bunyi segmental. Fonem suprasegmental
ini bukannya bunyi segmental atau bunyi penggalan, tetapi ciri yang hadir
bersama dengan cara menindihi atau menumpangi bunyi penggalan.[6] Fonem
suprasegmental tersebut terdiri dari:
a)
Tekanan
Tekanan
ialah ciri lemah atau kerasnya suara penyebutan sesuatu suku kata. Tekanan biasanya berlaku
pada suku kata dalam perkataan.
b)
Kepanjangan
Kepanjangan
atau juga disebut panjang pendek bunyi merupakan ciri khusus yang terdapat pada perkataan
dalam bahasa-bahasa tertentu.
c)
Jeda
Jeda
yang juga disebut persendian ialah ciri atau unsur hentian (senyap) dalam ujaran sebagai tanda
memisahkan unsure linguistik,
iaitu perkataan, ayat atau rangkai
kata.
d)
Tona
Tona
merupakan naik atau turunnya suara dalam pengucapan perkataan.
e)
Intonasi
Intonasi
ialah turun naik nada suara dalam pengucapan ayat atau frasa. Intonasi juga disebut sebagai lagu
bahasa.
ASIL PEMBELAJARANi. menerangkan pengertian
fonem suprasegmental,ii. membezakan antara tekanan,kepanjangan, jedona dan
intonasi dalam binetik da
3. Perubahan Fonem
Apabila kita menyinggung perubahan fonem dalam bidang proses morfofonemik
dalam bahasa Indonesia, maka ada dua hal yang perlu mendapat perhatian,[7] yaitu :
a)
Perubahan fonem /N/
1.
Fonem /N/ pada morfem meN- dan
morfem peN- berubah menjadi fonem /m/ kalau dasar kata yang mengikutinya
berawal dengan /b,f,p/. Misalnya :
meN- + pilih è memilih
meN- + foto è memfoto
peN- + bela è pembela
2.
Fonem /N/ pada {meN-} dan {peN-}
berubah menjadi fonem /n/ kalau dasar kata yang mengikutinya berawal dengan
fonem /d,s,t/. Perlu kita catat di sini bahwa fonem /s/ hanya khusus bagi
sejumlah dasar kata yang berasal dari bahasa asing. Apabila kita mencoba berbicara
bahasa atau dialeg asing, kemungkinan kita akan menggganti fonem-fonemnya
dengan fonem-fonem yang paling mirip dalam bahasa atau dialeg kita sendiri.[8]
Misalnya :
meN- + daki è mendaki
meN- + tahan è menahan
meN- + survei è mensurvei
3.
Fonem /N/ pada {meN-} dan {peN-}
berubah menjadi /n/ apabila kata dasar yang mengikutinya berawal dengan
/c,j,s/.
Misalnya :
meN- + cabut è mencabut
peN- + jaga è penjaga
peN- + seret è penyeret
4.
Fonem /N/ pada {meN-} dan {peN-}
berubah menjadi /ng/ apabila dasar kata yang mengikutinya berfonem /g,h,k,x/,
dan vokal.
Misalnya
:
meN- + ganti è mengganti
peN- + halang è penghalang
meN- + kecoh è mengecoh
meN- + angkat è mengangkat
peN- + edar è pengedar
b)
Perubahan Fonem /r/
Fonem
/r/ pada morfem {ber} dan morfem {per} berubah menjadi fonem /l/ sebagai akibat
pertemuan morfem tersebut dengan kata dasar yang berupa morfem {ajar}. Contoh
ber- + ajar è belajar
per- + ajar è pelajar
B. MORFEM
1. Pengertian Morfem
Morfem adalah
satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan yang tidak dapat
dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil; misalnya {ter}, {di} dan
{pensil}.[9]
2. Pengenalan Morfem
Prof. Ramlan mengemukakan enam perinsip
yang saling melengkapi untuk memudahkan pengenalan morfem.[10]
Ø Prinsip 1 Satuan-satuan
yang mempunyai struktur fonologik dan arti leksikal atau arti gramatik yang
sama merupakan suatu morfem.
Ø Prinsip 2 Satuan-satuan yang mempunyai struktur
fonologik yang berbeda merupakan suatu morfem apabila satuan-satuan itu mempunyai
arti leksikal atau arti gramatik yang sama, asal perbedaan itu dapat dijelaskan
secara fonologik.
Ø Prinsip 3 Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang berbeda sekalipun
perbedaannya tidak dapat tidak dapat dijelaskan secara fonologik, masih dapat
dianggap sebagai suatu morfem apabila mempunyai arti leksikal atau arti
gramatik yang sama, dan mempunyai distribusi yang komplementer.
Ø Prinsip 4 Apabila dalam deretan struktur, suatu satuan berpararel
dengan suatu kekosongan, maka kekosongan itu adalah morfem, ialah yang disebut
morfem zero.
Ø Prinsip 5 Satuan-satuan yang mempunyai struktur fonologik yang sama mungkin merupakan
satu morfem, mungkin pula merupakan morfem yang berbeda.
Ø Prinsip 6 Setiap satuan yang dapat dipisahkan merupakan morfem.
ü Contoh
Prinsip 1 :
a)
Membeli
rumah, rumah baru, menjaga rumah, berumah, satu rumah.
Dari
contoh-contoh itu dapat kita lihat bahwa satuan rumah merupakan satu morfem karena satuan itu memiliki
struktur fonologik dan arti leksikal yang sama.
b) Menulis, ditulis, menuliskan,
dituliskan, menulisi, ditulisi, tertulis, tertuliskan, tertulisi, tulisan,
penulis, penulisan, karya tulis.
Dari
contoh-contoh tersebut dapat kita lihat bahwa satuan tulis merupakan suatu morfem karena
satuan itu memiliki struktur fonologik dan arti leksikal yang sama.
ü Contoh
Prinsip 2 :
Menjahit,
membeli, menyalin, menggendong, mengecat dan melamar. Dari
contoh-contoh tersebut nyata bahwa satuan-satuan
men-, mem-, meny-, meng-, menge-, dan
me-; mempunyai arti gramatik yang sama, yaitu menyatakan tindakan aktif: tetapi struktur
fonologiknya jelas jelas berbeda.
Satuan-satuan men-, mem-, meny-, meng-, menge-, dan me- adalah alomorf dari morfem meN-; oleh karena itu semua satuan itu
merupakan satu morfem.
ü Contoh
Prinsip 3:
beralih, beradu
berbaring, berbicara
bersua, berjumpa
bertemu, bekerja
belajar, berjuang
bersandar, beradu
Dari contoh-contoh
tersebut terdapat satuan ber-, be-, dan bel-.
Berdasarkan Prinsip 2, jelas bahwa ber-, dan be-, merupakan satu morfem, karena
perbedaan struktur fonologiknya dapat dijelaskan secara fonologik. Tetapi
bagaimana halnya dengan bel- yang
(hanya) terdapat pada belajar?
Walaupun bel- mempunyai struktur
fonologik yangberbeda, dan perbedaanya itu tidak dapat dijelaskan secara
fonologik, toh mempunyai arti gramatik yang sama dan mempunyai distribusi
komplementer dengan morfem ber-.
Dengan kata lain : bel-
merupakan alomorf morfem ber-; oleh
karena itu maka satuan bel- dapat
dianggap sebagai satu morfem.
Perlu
dicatat bahwa morfem bel- ini
termasuk morfem yang produktif dalam bahasa Indonesia.
ü Contoh
Prinsip 4:
(1)
Ibu menggoreng ikan.
(2)
Ibu menyapu halaman.
(3)
Ibu menjahit baju.
(4)
Ibu membeli telur.
(5)
Ibu minum teh.
(6)
Ibu makan pecal.
(7)
Ibu masak rendang.
Ketujuh
kalimat di atas berstruktur S (ubjek) P (redikat) O (obyek). Predikatnya berupa
kata verbal yang transitif. Yang pada kalimat (1), (2), (3), (4) ditandai oleh
adanya meN-, sedangkan pada kalimat
(5), (6), (7), kata verbal transitif itu ditandai dengan kekosongan atau tidak adanya
meN-. Itulah yang disebut morfem
zero.
ü Contoh
Prinsip 5:
a)
(1) Ia menanam kembang.
(2) Bunga itu
telah kembang.
Pada (1) kembang ‘bunga’ dan pada (2) kembang ‘mekar’; oleh karena itu kedua
kata kembang itu merupakan morfem
yang berbeda walaupun mempunyai struktur fonologik yang sama. Kenapa? Karena
arti leksikalnya beda.
b)
(1) Ayah sedang tidur.
(2) Tidur ayah sangat nyenyak.
Kata tidur pada (1) dan (2) mempunyai arti
leksikal yang berhubungan, dan mempunyai distribusi Yang berbeda. Kedua kata tidur itu merupakan satu morfem.
ü Contoh
Prinsip 6:
a)
Berharap,
harapan
Berharap terdiri dari ber- dan harap; serta harapan terdiri dari harap dan –an. Dengan demikian maka ber-,
harap, dan –an masing-masing
merupakan morfem sendiri-sendiri.
a.
Mendatangkan,
didatangkan, mendatangi, pendatang, kedatangan, datang.
Dari
contoh-contoh diatas :
Mendatangkan terdiri dari tiga morfem yaitu meN-, datang, -kan
Didatangkan terdiri dari tiga morfem yaitu di-, datang, -kan
Mendatangi terdiri dari tiga morfem yaitu meN-, datang, -i
Pendatang terdiri dari dua morfem yaitu peN-, datang
Kedatangan terdiri dari dua morfem yaitu ke-an, datang
Maka dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa meN-, di-, peN-, datang, -kan, -i, dan
ke-an merupakan morfem
sendiri-sendiri.
3.
Proses
Morfologis
a) Pengertian Proses Morfologis
Proses Morfologis
adalah peristiwa penggabungan morfem satu dengan morfem yang lain menjadi kata.
Misalnya, kata menulis terdiri atas
morfem {meN-} dan {tulis}. Penggabungan morfem {meN-} dan {tulis} menjadi kata
menulis itulah yang disebut proses morfologis.[11]
b) Ciri Suatu Kata yang Mengalami
Proses Morfologis
Morfem-morfem
yang membentuk atau yang menjadi unsur kata berbeda beda fungsinya. Ada yang
berfungsi sebagai tempat penggabungan dan berfungsi sebagai penggabung.
Berdasarkan contoh di atas, morfem {tulis} berfungsi sebagai tempat
penggabungan, sedangkan morfem (meN-} berfungsi sebagai penggabung. Morfem yang
sebagai tempat penggabungan biasanya disebut bentuk dasar.
Bentuk dasar
dapat berupa pokok kata dilihat dari wujudnya, bahkan berupa kelompok kata.
Misalnya, bentuk dasar kata menemukan,
berjuang, dan perhubungan adalah
pokok kata temu, juang dan hubung.
Ciri lain bahwa
suatu kata dikatakan mengalami proses morfologis ialah penggabungan atau
perpaduan morfem-morfem itu mengalami perubahan arti. Contohnya bentuk dasar cangkul setelah digabung morfem {meN-},
sehingga menjadi kata mencangkul,
artinya menjadi ‘melakukan pekerjaan dengan alat cangkul’.[12]
c) Macam Proses Morfologis
1)
Pembentukan kata dengan menambahkan
morfem afiks pada bentuk dasar. Misalnya kata menulis dan pembangunan. Kata
menulis terbentuk dari bentuk dasar tulis dan morfem imbuhan {meN-}, kata pembangunan
terbentuk dari bentuk dasar bangun dan morfem imbuhan {peN-an}.
2)
Pembentukan kata dengan mengulang
bentuk dasar.
Misalnya murid-murid, mencari-cari dan memukul-mukul yang
terbentuk dari bentuk dasar murid, mencari dan memukul dengan morfem {ulang}.
3) Pembentukan kata dengan menggabungkan dua atau lebih bentuk dasar. Misalnya
meja hijau terbentuk dari bentuk
dasar meja dan hijau.[13]
C. PENJENISAN
KATA
Kata
ialah kumpulan daripada bunyi ujaran yang mengandung arti. Kata dinyatakan
sebagai susunan huruf-huruf abjad yang mengandung arti dan sangat jelas.[14] Contoh: ibu, mobil, ambil
dan sedih.
Jenis
kata ialah golongan kata yang mempunyai kesamaan bentuk, fungsi dan perilaku
sintaksisnya. Dalam tatabahasa tradisional, jenis kata ini biasanya dibedakan atas
sepuluh macam. Pembagian yang sepuluh ini sepenuhnya berkiblat pada pendapat
Aristoteles yang berdasarkan hasil penelitiannya terhadap bahasa-bahasa Barat.[15] Sepuluh jenis kata itu
adalah:
1.
Kata Benda (Nomina)
Adalah nama dari semua
benda dan segala yang dibendakan.
Misalnya: Tuhan, angin,
meja, rumah, batu, mesin dan lain-lainnya.
2.
Kata Kerja (Verba)
Adalah semua kata yang
menyatakan perbuatan atau laku.
Misalnya: mengetik,
mengutip, meraba, mandi, makan dan lain-lainnya.
3.
Kata Sifat (Adjektiva)
Adalah kata yang
menyatakan sifat atau hal keadaan sebuah benda/sesuatu.
Misalnya: baru, tebal,
tinggi, rendah, baik, buruk, mahal, dan sebagainya.
4.
Kata Ganti (Pronomina)
Adalah kata yang dipakai
untuk menggantikan kata benda atau yang dibendakan.
Misalnya: ini, itu, ia,
mereka, sesuatu, masing-masing.
5.
Kata Keterangan (Adverbia)
Adalah kata yang memberi
keterangan tentang kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata bilangan, atau
seluruh kalimat.
Misalnya: pelan-pelan,
cepat, kemarin, tadi.
6.
Kata Bilangan (Numeralia)
Adalah kata yang
menyatakan jumlah benda atau jumlah kumpulan atau urutan tempat nama-nama
benda.
Misalnya: seribu, saratus,
berdua, bertiga, bebarapa, banyak.
7. Kata
Penghubung (Konjungsi)
Adalah
kata yang menghubungkan kata-kata, bagian kalimat, atau menghubungkan
kalimat-kalimat.
Misalnya: dan, lalu,
meskipun, sungguhpun, ketika, jika.
8.
Kata Depan (Preposisi)
Adalah kata yang
merangkaikan kata atau bagian kalimat.
Misalnya: di, ke, dari, daripada, kepada.
9.
Kata Sandang (Artikel)
Adalah kata yang berfungsi
menentukan kata benda dan membedakan suatu kata.
Misalnya: si, sang, hyang.
10.
Kata Seru (Interjeksi)
Adalah kata (yang
sebenarnya sudah menjadi kalimat) untuk mengungkapkan perasaan.
Misalnya: aduh, wah, eh,
oh, astaga.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M.K.
Ejaan yang Disempurnakan. Jakarta: Sandro Jaya.
Alwasilah, A.
Chaedar. 1990. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Bloomfield,
Leonard. 1995. Bahasa. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka.
Mahmood,
Abdul Hamid. 2012. Fonetik dan Fonologi Bahasa Melayu.
Malaysia: Universiti
Pendidikan Sultan Idris.
Muslich, Masnur.
2008. Tatabentuk Bahasa Indonesia: Kajian
ke Arah Tatabahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.
Supriyadi. 1997.
Pendidikan Bahasa Indonesi 2.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Tarigan, Henry
Guntur. 1995. Pengajaran Morfologi.
Bandung: Angkasa.
[1]
Supriyadi, Pendidikan Bahasa Indonesi 2,
(Jakarta: Universitas Terbuka, 1997), hal f.
[11]Masnur
Muslich,
[14]M.K.
Abdullah
0 komentar:
Post a Comment