Pengertian
Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama al-‘usyr atau al-maks, atau bisa juga disebut ad-daribah, yang artinya adalah pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak. Atau suatu ketika bisa disebut al-kharaj, akan tetapi al-kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus. Sedangkan para pemungutnya disebut sahibul maks atau al-‘asyar.
Pajak adalah suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggarakan jasa-jasa untuk kepentingan umum. Pajak menurut definisi para ahli keuangan ialah kewajiban yang ditetapkan terhadapwajib pajak, yang harus disetorkan kepada negara dengan ketentuan tanpa mendapat prestasi kembali dari negara dan hasilnya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum di satu pihak dan untuk merealisasikan sebagian tujuan ekonomi, sosial, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai oleh negara.
Bila kita menelusuri dan mencari dasar hukum mengenai pajak baik dalam nash al-Qur’an maupun al-Hadits secara jelas maka kita tidak akan menemukannya, akan tetapi jika kita menelusurinya lebih jauh terhadap kandungan nas tersebut maka secara tersirat terdapat di dalamnya, karena pajak merupakan hasil ijtihad dan pemikiran dari sahabat Umar bin Khattab yang mengacu pada kemaslahatan umat.Yang selanjutnya pemikiran tersebut diteruskan dan dikembangkan oleh para ulama dan umara dalam rangka menciptakan kondisi masyarakat sejahtera dan adil dan makmur. Misalnya praktek Umar bin Khattab ketika menarik pungutan dengan berlandaskan surat al-Baqarah ayat 267.
Dalam Islam tidak dibenarkan apabila harta itu berputar pada satu kelompok kecil saja di kalangan masyarakat, sebab hal ini akan membawa bencana kerusakan dan hilangnya keharmonisan kehidupan masyarakat seperti firman Allah dalam surat al-Hasyr ayat 7.
Dari alasan-alasan tersebut jelaslah bahwa Islam mengakui adanya pungutan lain yang amat penting yang dibutuhkan pemerintah untuk membiayai tugas kewajiban kenegaraan. Pada masa sekarang ini negara dengan program pembangunannya sangat luas dan banyak sasarannya yang perlu mendapat perhatian, sedangkan sumber pendapatan biaya pembangunan dari sektor lain tidak mencukupinya. Maka untuk dapat terealisirnya program pembangunan yang mulia itu perlu kita dukung dan kita bantu, hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam surat al- Maidah ayat 2.
Jadi sebagai konsekuensi dari hal perlindungan warga negara dan segala fasilitasnya yang telah disediakan pemerintah tersebut, maka warga negara mempunyai pula kewajiban yang seimbang yaitu mematuhi dan membantu pembangunan dalam pembiayaan pembangunan tersebut.
Ada beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut syariat Islam, yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis (non-Islam) yaitu:
a. Pajak (dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu; hanya boleh dipungut ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika di baitulmal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bisa dihapuskan. Berbeda dengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi pihak yang membutuhkan (mustahiq). Sedangkan pajak menurut non Islam adalah abadi (selamanya)
b. Pajak (dharibah) hanya boleh dipungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Sedangkan pajak menurut non-Islam ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama.
c. Pajak (dharibah) hanya diambil dari kaum muslim dan tidak dipungut dari non-Muslim. Sebab pajak (dharibah) dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum Muslim, yang tidak menjadi kewajiban non-Muslim. Sedangkan teori pajak non-Islam tidak membedakan Muslim dan non-Muslim dengan alasan tidak boleh diskriminasi.
d. Pajak (dharibah) hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi dirinyadan keluarganya menurut kelayakan kelayakan masyarakat sekitar. Dalam pajak non-Islam, kadangkala dipungut atas orang miskin, seperti pajak bumi dan bangunan atau PPN yang tidak mengenal siapa subyeknya, melainkan melihat obyek (barang atau jasa) yang dikonsumsi.
e. Pajak (dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih.
f. Pajak (dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut teori non-Islam, tidak akan dihapus karean hanya itulah sumber pendapatan.
Bentuk-bentuk Pajak dalam Islam
a. Jizyah (Pajak Kepala)
Jizyah adalah imbalan yang dipungut dari orang-orang kafir sebagai balasan atas kekafirannya atau sebagai imbalan atasjaminan keamanan yang diberikan orang-orang muslim padanya. Jizyah diwajibkan atas orang laki-laki, balig dan berakal dan yang dikenakan jizyah adalah orang-orang yang termasuk golongan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Besarnya kadar jizyah yang dipungut diserahkan kepada kebijaksanaan pemerintah sesuai dengan kemaslahatan umum dan dipungut 1 tahun sekali.
b. Kharaj (Pajak Tanah)
Menurut al-Mawardi, kharaj adalah uang yang dikenakan terhadap tanah dan termasuk hak-hak di atasnya yang harus ditunaikan. Tidak seperti jizyah yang dasar hukumnya ditentukan oleh nash, kharaj didasarkan pada ijtihad, karena kharaj ini tidakditemui pada masa Rasulullah SAW, tetapi mulai digali pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
c. ‘Ushr (Pajak Perdagangan/Bea Cukai)
‘Ushr menurut bahasa berarti sepersepuluh. Sedangkan menurut istilah, ‘ushr berarti pajak yang dikenakan pada para pedagang asing yang melewati batas negara Islam dan pembayarannya dapat berupa uang dan barang.
Bea cukai barang impor mulai dikenal atas keputusan khalifah Umar bin Khattab setelah bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya yang menjadi anggota dewan syura-nya. Keputusan Umar ini bertitik tolak dari datangnya surat dari Gubernur Bashrah Abu Musa al-Asy’ari yang menyatakan bahwa saudagar-saudagar muslim yang membawa barang dagangannya ke negara-negara yang tidak termasuk wilayah islam dipungut bea masuk oleh pemerintah setempat sebesar 10%. Dengan demikian, dasar dari bea impor ini adalah ijtihad.